Cerpen "Gara Gara Koran!"
Dibuat tanggal: 6 December 2013.
Karya: Felicia Sutanto
Putri's POV
“WOYY!! BUANG SAMPAH JANGAN
SEMBARANGAN DONG!! GA LIAT YA ADA ORANG?!?! DASAR MENTANG MENTANG ORANG
KAYA!!!” pekikku sekeras kerasnya, berharap dengan pekikan itu dapat
menyadarkan sang pemilik mobil untuk bertanggung jawab atau setidaknya
menanyakan apakah aku baik baik saja.
Tadi mobil CRV berwarna
putih itu membuang botol air mineralnya dengan keadaan tutup yang terbuka.
Alhasil, nyawa koran jualanku ludes dan basah. Begitukah orang kaya? Hanya
karena pekerjaanku sebagai seorang loper koran, mereka bisa seenaknya
merendahkan dan meremehkanku? Bukannya orang miskin sepertiku dan orang kaya seperti
mereka juga sama sama makan nasi? Lalu, kenapa kebanyakan orang kaya selalu
bersikap seenaknya seolah orang miskin harus dimusnahkan dari dunia ini?
Dari awal, aku memang
membenci orang kaya. Semua itu berawal karena keputusan mama yang beberapa
tahun lalu memilih untuk meninggalkan papa hanya untuk menikahi pria lain yang
lebih mapan. Aku heran dengan jalan pikiran mama, atau bahkan jalan pikiran
kebanyakan orang di dunia ini. Uang uang dan uang. Ada apa dengan benda itu?
Memangnya dengan uang kau bisa bahagia? Ya, mungkin kau bisa membelikan apapun
yang kau mau dengan uang, tapi kau tidak akan pernah bisa membeli kebahagiaan
dengan sebuah uang.
“Lo baik baik aja?” suara
berat itu menghentikan kesibukan tanganku yang sedang berusaha mengeringkan
koran jualanku.
Aku menoleh ke arah suara,
dan aku spontan mundur selangkah, tidak percaya dengan pemuda yang berada di
hadapanku. Ganteng. Satu kata itu terprogram secara otomatis oleh sel sel otakku.
Lalu, beberapa detik kemudian aku tersadar, pemuda tampan itu yang sudah
membuat koranku basah! Ini tidak bisa dibiarkan.
“Kamu masih bisa tanya aku
baik baik aja?! Kamu nggak liat koran koranku basah semua? Kamu nyetir pake
mata nggak sih?” tanyaku ketus. Aku benar benar jengkel pada pemuda itu, walaupun
sebenarnya aku juga sedang berusaha menutupi kekagumanku atas ketampanannya
yang menurutku melebihi batas ketampanan.
Pemuda berseragam itu
melonggarkan dasinya, lalu berkata dengan nada seolah tidak bersalah, “Maaf,
tadi gue nggak tau ada lo disitu. Lagian elo ngapain sih? Elo itu cewek, nggak
pantes jualan koran gini.”
Kedua mataku membesar.
“Terus kenapa kalo aku loper koran? Kamu mau ngehina aku karena aku orang
miskin? Iya?”
Dia mengernyit. “Lo negative thinking banget sih? Gini deh,
gue beli semua koran lo, lo mau berapa? Berapapun gue kasih.”
Aku mendongak dan menatap
kedua mata pemuda itu dengan tatapan sengit. Tingginya yang jauh lebih
tinggi dariku sama sekali tidak membuat
nyaliku ciut untuk melawannya. “Nggak usah! Kamu kira semua yang ada di dunia
ini bisa di beli sama uang?”
“Terus lo mau nya apa?”
tanyanya. “Cepetan, gue ga punya waktu banyak.”
“Nggak usah. Aku ga butuh
apa apa dari kamu!” Kataku lalu langsung pergi meninggalkan pemuda itu dengan
muka yang kutekuk berlipat lipat. Aku benar benar harus menyiapkan mental
telingaku untuk mendengar omelan Bu Maya – atasanku itu – yang kerap kali
membuat teligaku hampir mengeluarkan nanah akibat suaranya yang melengking.
Namaku Putri, dan ya, aku
memang bekerja sebagai loper koran. Memangnya apa yang salah dengan itu?
Bukannya itu salah satu pekerjaan yang halal? Lagi pula, aku menikmati
pekerjaanku ini.
Seperti contohnya: Aku dapat
merasakan sejuknya udara pagi walaupun lama lama udara sejuk itu berbaur
menjadi satu dengan asap asap kendaraan. Aku dapat mengamati jalanan kota
Jakarta yang kian hari makin padat sambil memperhatikan para pengemudi dengan
raut wajah yang berbeda beda. Aku juga dapat mengenal teman teman yang
seperjuangan denganku, yang turut merasakan apa yang aku rasakan, karena mereka
juga menjual koran di pagi hari.
Jujur saja, aku belajar
banyak dari pekerjaan ini, salah satunya adalah melatih tingkat kesabaranku.
Aku sudah terbiasa dengan pengemudi pengemudi mobil yang memasang tampang cuek
– seolah aku tidak ada, lenyap dan hanyut begitu saja bersama angin ketika aku
muncul dari balik kaca mobil mereka dan menawarkan koranku. Aku juga sudah
terbiasa dengan pembeli yang batal membeli koranku karena aku tidak punya uang
kembalian – akibat uang yang mereka berikan terlalu besar, atau karena lampu
lalu lintas sudah berganti menjadi hijau.
Awalnya, aku sering
menggerutu dalam hati, mamaki pengemudi mobil yang bertindak seenaknya itu.
Namun hari demi hari kulewati, aku pun mulai mengerti. Dan rasa pengertianku
kini berubah menjadi suatu kebiasaan. Aku
sudah terbiasa.
Hari hariku selalu berlalu
dengan rutinitas yang sama. Pagi pagi buta aku harus bangun dan pergi ke pusat
pencetakan koran, lalu aku harus menjualnya sampai habis dalam waktu satu jam.
Kelelahanku menjual koran disambung dengan kegiatan belajarku di salah satu
sekolah ternama di Jakarta. Aku mendapatkan beasiswa penuh untuk sekolah di
sekolah tersebut.
“Putri!” Fani memanggilku
dengan napas terengah-engah dari kejauhan. Sudut sudut bibirku terangkat
membentuk seulas senyum, aku pun menghentikan langkah dan menunggu sahabatku
satu itu menghampiri.
“Tumben datengnya pagian?”
tanyanya. Napasnya masih belum stabil, rambutnya berantakan. Dia selalu seperti
ini. Memanggilku dari kejauhan, lalu berlari dengan kecepatan tinggi untuk
menghampiriku.
“Oh, hari ini aku nggak
jualan koran, Fan. Udah deh, jangan di bahas.” Jawabku. Aku sedang malas sekali
membahas masalah koran, sudah cukup tadi atasanku memarahiku dengan tatapan
seperti ingin menelanku bulat bulat.
“Lo sekolah disini? Seriusan
nih? Loper koran sekolah disini?” tiba tiba ada suara lain di belakangku. Aku
tidak asing dengan suara itu. Fani yang langsung melotot sampai sampai hampir
saja kehilangan keseimbangan melihat sesorang dibelakangku itu yang membuatku
penasaran. Aku menoleh ke arah suara dan tidak ada kata yang lebih tepat untuk
melukiskan perasaanku selain: kaget.
“Kamu sekolah disini?”
tanyaku dengan nada heran. Pemuda itu adalah pemuda yang tadi membuat koranku
basah. Aku memang tadi melihat pemuda itu berseragam, tetapi aku tidak
memperhatikan badge yang ada di saku seragamnya. Ia satu sekolah denganku? Aku
seperti sedang bermimpi….
Ia menangguk. “Oh ya, maaf
ya tadi. Gue bener bener nggak sengaja.”
Moodku langsung jatuh sampai
minus seribu. “Lupaiin aja!”
Aku menarik lengan Fani, dan
mengajaknya masuk ke dalam kelas. Hari ini adalah hari pertamaku masuk sekolah
setelah libur semester yang cukup panjang.
“Eh tunggu!” katanya agak
berteriak. “Nama lo?”
Aku memutar kepalaku ke
arahnya lalu menjawab, “Putri.”
Dia manggut manggut. “Oh, ok
Putri. Nama gue, Levin.”
Aku memaksakan seulas senyum,
lalu meninggalkan pemuda itu. Fani berbisik pelan di telingaku, “Levin itu
penguasa sekolah kita. Dia satu tahun lebih tua dari kita. Kamu tau itu kan?”
Aku menggeleng pelan, benar
benar tidak tahu. Lalu, Fani pun mulai menceritakan semua tentang pemuda itu, kelebihan
kelebihan Levin, yang sebenarnya sama sekali tidak berarti apa apa buatku.
***
“Putri!” Levin mencegat
lenganku, memintaku untuk berhenti dan berbicara dengannya.
“Apa?” tanyaku.
Tubuh pemuda itu bermandi keringat.
Sepertinya ia baru selesai bermain basket. Namun begitu, ketampanannya sama
sekali tidak luntur. Dia masih tampan seperti tadi pagi. “Gue mau nebus
kesalahan gue nih. Gue anter lo pulang ya? Tapi sebelum itu gue traktir lo
makan, gimana?”
“Nggak usah. Makasih.” Aku
menolak, walau di dalam hati aku mengutuki diriku sendiri, bisa bisanya aku
menolak ajakan makan siang bersama pemuda tampan seperti Levin? Sepertinya
otakku sedang bermasalah.
“Please?”
Aku berpikir sesaat, lalu
akhirnya mengangguk. Dia pun langsung melompat lompat kegirangan seperti anak
kecil yang baru saja dibelikan mainan baru. Levin menggandeng tanganku, membuat
jantungku berdebar jauh lebih cepat dari biasanya. Tidak ada yang pernah
menggandengku seperti ini selain kedua orang tuaku. Itu pun terakhir kali waktu
aku berusia sepuluh tahun. Dan jujur saja, aku tidak tahu bagaimana cara
menanggapi telapak tangan yang sekarang sedang menggenggam tanganku erat erat.
Levin membawaku ke rumah
makan makanan khas Indonesia. Aku sempat terkejut saat mengetahui pemuda
itu membawaku ke restaurant seperti ini. Aku mengira ia akan membawaku ke rumah
makan yang mahal dan sudah pasti makananya akan sangat asing di lidahku. Aku
mulai merubah pandanganku tentang orang kaya satu itu. Ternyata, orang kaya
juga bisa makan di tempat terpencil di pinggir jalan seperti ini.
Kami berbincang bincang
tentang banyak hal. Apa yang kami bicarakan berlanjut begitu saja, tanpa
sedikitpun kejanggalan. Ia bercerita tentang pekerjaan orang tuanya, hobbynya
bermain basket, dan juga kebiasaannya yang menurutku cukup aneh: memakai kaos
kaki dengan warna yang berbeda.
Begitu juga dengan aku, aku
menceritakan semua tentang kehidupanku padanya. Awalnya aku berpikir Levin akan
mengejekku, namun aku salah. “Gue salut sama lo, kapan kapan ajarin gue jualan
koran ya.” Katanya.
“Ih! Resek!” kataku.
Setelah hari itu, kami
berdua menjadi dekat. Di sekolah, kami sering menghabiskan waktu bersama.
Seperti makan berdua di kantin (walaupun terkadang Fani ikut denganku),
belajar bersama, dan ia juga rutin mengantarkku pulang setiap hari.
Beberapa bulan kemudian..
“Put, ke rumah gue yuk? Gue
mau kenalin lo sama bokap nyokap gue.”
Ajakan Levin berhasil
membuatku terkejut. Astaga, aku benar benar tidak siap. Bagaimana jika orang
tua Levin tidak menyukaiku lalu melarang Levin berteman denganku? Ini
mengerikan. Berkenalan dengan kedua orang tua Levin? Dengan orang tua cowok
yang ku kagumi?
“Please?”
Aku tidak bisa menolak
rayuan pemuda itu. Akhirnya aku mengangguk, dan dia pun langsung menghambur ke
arahku, memelukku erat. Awalnya aku ragu menyambut pelukan itu, namun akhirnya
aku mengangkat kedua tanganku perlahan, lalu membalas pelukan itu.
***
Hidup itu memang rumit.
Tidak bisa ditebak. Apa yang di depan mata ku sekarang benar benar diluar
dugaanku. Bagaimana bisa seperti ini? Kenapa hidup tidak pernah membiarkanku
bahagia, walaupun sebentar saja? Kenapa tiba tiba kenyataan pait ini datang dan
menghancurkan semuanya?
Aku jatuh cinta pada Levin.
Kuakui itu. Namun….
“Mama?!” kataku setelah
Levin memperkenalkan mamanya.
Mama langsung terkejut.
“Putri? Ini kamu, nak? Kamu sudah besar sayang.” Mama mengelus kepalaku dan
menarikku ke dalam pelukannya.
Aku menolak pelukan itu.
“Kenapa mama disini?”
“Ini keluarga baru mama,
Putri.”
Aku mulai merasakan lututku
melemas. Apa itu artinya Levin juga anak mama? Dan apa itu berarti aku dan
Levin sedarah? Aku mundur selangkah, lalu meninggalkan rumah Levin dengan air
mata yang terus mengalir begitu saja.
Aku dan Levin. Kehidupan
kami memang sangat bertolak belakang. Ia adalah anak orang kaya, sedangkan aku
hanya anak dari seorang pemulung. Levin dapat membeli apapun yang ia mau dengan
menggunakan uang ayahnya, sedangkan aku? Untuk sesuap nasi saja, aku harus banting
tulang kesana kemari untuk mencari uang. Namun, dengan segala kekuranganku ini,
Levin berhasil membangkitkan rasa percaya diriku. Dia bilang dia mencintaiku
apa adanya.
Orang bilang masa remaja
memang yang paling menyenangkan. Aku menyetujui itu. Namun apakah ini masih
bisa dibilang sesuatu yang menyenangkan saat orang yang kau cintai selama ini
adalah saudaramu sendiri?
Tiba tiba, langit
memuntahkan air hujan. Aku tidak berniat untuk menepi, sebaliknya, aku membiarkan
hujan itu membasahi sekujur tubuhku. Aku mulai menangis, berteriak sekeras
kerasnya, menyalahkan takdir kenapa begitu kejam dan tidak adil. Entah berapa
lama aku membiarkan tubuhku berbaur dengan air hujan, yang jelas di waktu aku
mendongak ke langit dan berharap semua ini hanya mimpi, aku tetap masih berada dibawah
titik titik air hujan yang semakin deras. Menyadarkanku bahwa aku sedang tidak
bermimpi.
***
Sudah dua minggu semejak
kejadian itu. Aku menolak mati matian untuk bertemu dengan Levin. Jujur saja,
aku belum bisa terima dengan kenyataan yang ada. Aku masih berharap semua ini
mimpi dan bukan kenyataan. Terkadang, aku menyalahkan mama dan membenci segala
keputusan yang pernah ia buat. Namun, aku juga sadar, dia adalah ibuku. Dia
yang mengandungku selama sembilan bulan dan memperkenalkan aku ke dunia.
Akhir akhir ini, aku mulai
sering menangkap gadis gadis lain di sekolah mulai mendekati Levin, walaupun
Levin selalu menolak mati matian dan mengusir para gadis itu. Diam diam, aku
merasa sangat bersyukur dicintai oleh sosok pemuda seperti Levin. Tidak ada
yang lebih menyenangkan dari pada dicintai oleh sosok yang kau cintai juga,
bukan?
“Put, aku mau ngomong sama kamu.”
Aku tetap berjalan, mengabaikan
Levin yang dua minggu terakhir ini rutin menunggu di depan kelasku.
“Udah lah Vin, kita nggak
bisa sama sama.” Bulir bulir air mata mulai membasahi pipiku. Aku cepat cepat
menghapusnya, tidak mau sampai Levin tahu aku menangis.
“Kenapa? Karna kamu ngira kita
saudaraan?”
Aku memutar badanku, menatap
kedua mata Levin yang selama menjadi sesuatu yang selalu meneduhkanku. Susah rasanya
menatap Levin sebagai seorang saudara, dan harus ku akui, aku menangkap
jantungku kini berdegup begitu kencang.
“Kenyataannya memang gitu kan? Vin,
masih banyak kok cewek di luar sana. Kamu pasti dapet yang lebih baik dari aku.”
Levin tergelak. “Putri, mama kamu itu mama tiri kau. Papa nikah lagi satu tahun setelah mama kandung aku meninggal. Kita nggak saudaraan, Put.”
Aku ternganga. Benarkah?
Astaga, seharusnya aku tidak seenaknya mengambil kesimpulan. Entah dari mana,
air mataku kembali mengalir. Kali ini, air mata itu berbeda. Dan aku tahu, air
mata ini air mata bahagia.
Aku langsung menghambur ke arahnya, memeluknya sangat erat, dan dia
pun membalas pelukanku. Kami berpelukan cukup lama, ditengah kerumunan murid
sekolah yang sudah bersuit suit ria.
Hidup akan membawamu ke titik yang paling rendah, dimana saat saat itu kau hanya ingin berlari dari kenyataan. Namun, hidup itu cukup adil untuk memberimu kesempatan berada di titik atas. :)
The end, Putri.
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home