Pesan Di Balik Sebuah Sendok
FanFiction ini diambil dari novel Remember When karya Winna Efendi.
-Erik's POV-
Bersahabatan dengan Freya sejak SD membuat aku terlalu
mengenalnya. Aku tahu semua kelebihan dan kekurangannya. Aku juga tahu bakat
tersembunyi yang diam-diam ia pendam. Aku tahu latar belakang keluarga dan masa
lalunya. Aku tahu…… Entahlah. Yang jelas, aku tahu segalanya tentang Freya.
Segalanya. Bahkan yang tidak diketahui oleh pacarnya, Moses.
Seperti salah satunya: Freya suka mengoleksi sendok.
Aku tidak
dapat melihat dari mana sisi menariknya sebuah benda
kecil-dan-tak-berdaya-namun-berguna seperti sendok, tetapi, anehnya Freya bisa.
Jika kau mau, ia dapat menjelaskan bagaimana perubahan sendok dari masa ke masa
dengan begitu detail. Ia juga dapat menjelaskan proses pembuatan
sendok dengan lancar.
Freya mempunyai berbagai macam bentuk, rupa dan jenis
sendok. Mulai dari sendok untuk makan, sampai sendok untuk membuat adonan kue.
Mulai dari sendok polos tanpa ukiran, sampai sendok dengan berbagai macam motif. Mulai dari sendok yang terbuat dari plastik, sampai sendok yang
terbuat dari emas. Intinya, jika suatu saat dunia mengalami kebangkrutan
sendok, Freya tentu bisa menjadi penyelamatnya.
Dan, disinilah kami berada. Di pulau Bali yang identik
dengan indahnya suasana pantai. Tetapi, keindahan pantai sama sekali tidak
membuat Freya tertarik. Sahabatku satu ini lebih memilih mengunjungi rumah
makan demi rumah makan, hanya untuk mengincar apakah ada sendok yang belum
masuk ke dalam kotak koleksinya.
Aku pun terpaksa menuruti kemauannya. Oh ya, satu yang
harus di catat, menjadi sahabat Freya berarti siap untuk dipermalukan. Aku
sering kali menahan malu karena ditatap dengan seluruh penghuni rumah makan.
Tatapan-tatapan itu seperti menyudutkan dan menyalahkanku karena telah membawa
makhluk seaneh Freya–yang rela merengek-rengek pada penjaga kasir hanya demi
mendapatkan sebuah sendok.
“Erik, liat deh... Sendoknya keren.” Freya mulai mengamati
sendok yang baru saja diantarkan oleh pelayan. Sorotan matanya memancarkan
ketertarikan yang luar biasa. “Kira-kira boleh—“
Aku buru-buru memotong, “Freya, ini di Bali. Jangan
malu-maluin gue disini, dong.”
Freya cemberut. Ia menyodorkan sendok itu kepadaku,
memintaku untuk mengamatinya terlebih dahulu. Aku mulai mengamati benda
kecil-dan-tak-berdaya-namun-berguna itu dengan ogah ogahan. Beberapa detik
kemudian, harus kuakui, sendok itu berhasil menyedot seluruh perhatianku sampai
habis.
Sendok itu….. unik. Ujung gagang sendoknya terukir sebuah
bunga matahari, dengan kelopak bunga yang terbuat dari intan. Tangkai bunganya
terukir rapi di sepanjang gagang sendok, warna emas yang menyala pada tangkai
bunga itu berpantulan dengan dinding mataku, menyebabkan kilauan silau yang
otomatis membuat kedua mataku menutup dengan sendirinya.
Aku mulai membandingkan sendok itu dengan sendok yang
berada di piringku. Sendok makanku berbentuk stainless steel tanpa
ukiran, dan tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan sendok Freya. Perbandingannya itu seperti ketika kau melihat bunga anggrek, dan di sebelahnya terdapat kotoran ayam. Keindahannya berbeda jauh, bukan?
Kujelajahi seluruh penjuru ruangan, ingin tau apakah ada sendok seperti punya Freya. Dan beginilah hasil pengamatanku: semua
pengunjung rumah makan ini menggunakan sendok yang sama denganku. Tidak ada yang menggunakan sendok seperti punya Freya.
Freya menyikut lenganku pelan, tersenyum menggoda. Sial, ia
berhasil membaca raut wajahku yang terlihat terkesima dengan sendok itu. Ahh. Bodoh. Kenapa aku bisa tertarik dengan benda
kecil-dan-tak-berdaya-namun-berguna ini?
“Jadi, gimana?” tanya Freya, wajahnya terlihat begitu
semangat.
Aku melambaikan tangan tinggi-tinggi, mencoba mencari
pelayan yang sedang tidak sibuk dengan pekerjaannya. Rumah makan ini sangat
ramai, jadi aku tidak mau menganggu pekerjaan mereka hanya untuk membahas
tentang sebuah sendok.
Salah satu pelayan berjalan menghampiri mejaku. Aku
sebenarnya sedikit ragu, namun bibir Freya yang langsung terangkat dan
membentuk seulas senyum lebar membuatku tidak tega untuk membatalkan niatku
untuk membantunya.
Kedua mata pelayan itu langsung membelalak ketika melihat
sendok yang berada di genggamanku. Aku agak khawatir, khawatir jika bola
matanya akan copot saat itu juga dan terbang ke laut pantai Kuta. Tubuh pelayan
itu tiba-tiba bergemetar sangat kuat, membuatku refleks merapatkan kursi lebih
dekat pada Freya.
Beberapa pelayan ikut menghampiri mejaku dan Freya. Setelah
mereka melihat sendok yang berada di genggamanku, raut wajah mereka pun tidak
berbeda dengan pelayan pertama yang tadi kupanggil. Tangan mereka bergetar,
ekspresi wajah mereka ketakutan, gerak gerik mereka seperti orang kesurupan.
Semakin banyak pelayan yang menghampiri mejaku dan Freya,
semakin banyak juga jiwa-jiwa yang kesurupan. Tingkah laku mereka sangat aneh,
dan aku mendapati diriku bertanya-tanya dalam hati apa yang sebenarnya sedang
terjadi. Sungguh, tempat ini lebih cocok untuk disebut pusat penginapan roh
jahat daripada rumah makan.
Freya memegang tanganku erat. Tangannya bergemetaran,
seolah menunjukkan ia sedang ketakutan. Jantungku juga berdegup
tiga-per-empat lebih cepat dari biasanya, menandakan bahwa aku juga takut.
Namun, untuk menjaga sisi kejantananku, aku harus belagak menjadi pemberani.
Seorang wanita paruh baya menghampiri mejaku.
Sepertinya, wanita itu adalah pemilik rumah makan. Aku dapat menyimpulkan begitu
karena melihat bajunya yang lebih formal dan ekspresi wajahnya yang menyiratkan
ketegasan.
Tidak beda dari ekspresi pelayan pelayan tadi, kedua mata
pemilik rumah makan itu membelalak, namun sesaat kemudian ia berusaha untuk
bersikap tenang. Ia memekik, “TARUH SENDOK ITU DI MEJA! SEKARANG!”
Karena sistem otakku yang sedang berada dalam keadaan
terkejut sekaligus tersendat, aku bingung apa yang harus kulakukan. Sendok itu
masih berada di tanganku sekitar lima detik lamanya, sampai sang pemilik
rumah makan kembali memerintahkanku untuk menaruhnya di meja. Dengan
gerakan cepat, kulemparkan sendok itu ke meja. Campuran antara perasaan janggal
dan aneh mulai merasukiku.
“Sendok itu hanya ada dua di dunia ini. Sudah lama suami
saya mencari sendok satunya yang hilang, dan kalian menemukannya. Terima kasih
banyak!” pemilik rumah makan itu membungkuk, seolah sedang memberi hormat.
“Kalian berdua percaya roh roh hitam ya?”
Aku dan Freya menggelengkan kepala kuat-kuat.
“Bagaimana bisa? Orang yang tidak percaya dengan roh hitam,
tidak dapat melihat sendok ini. Pelayan pelayanku kesurupan karena mereka tidak
percaya roh hitam.” Kata wanita paruh baya itu dengan nada santai, tidak sadar
kalimatnya barusan berhasil membuatku dan Freya semakin ketakutan.
Freya yang tiba-tiba melonggarkan cengkramannya dari
tanganku membuat aku menoleh. Pandangan matanya jatuh ke arah kemeja yang
kukenakan. Kedua mataku otomatis bergerak mengikuti pandangan mata Freya, dan
saat itu juga, aku lupa cara bernapas. Sendok dengan ukiran bunga matahari itu
sedang berada di saku kemejaku! Benda kecil-dan-tak-berdaya-namun-berguna itu
memancarkan cahaya yang begitu terang, membuatku harus memicingkan mata.
Aku buru-buru mengeluarkan sendok itu dari saku, dan karena
saking takutnya, aku melempar sendok itu ke lantai.
“KENAPA KAU LEMPAR? Roh di sendok itu bisa
mengejarmu, anak muda!” wanita paruh baya itu mundur selangkah, seolah
sedang bersiap-siap menghindari sesuatu.
“Rikkk..Rikk..” Freya mengguncang-guncangkan bahuku. “Liat
ii..tu.”
Sendok itu bangkit dari ‘kematian’nya di lantai, lalu
melayang-layang di udara. Perlahan, benda kecil-dan-tak-berdaya-namun-berguna
itu mendekati wajahku, kemudian berpindah ke arah wajah Freya, dan memasuki
saku celana Freya dengan gampangnya.
Sang pemilik rumah makan kembali berkata, “Jangan berlari!
Ingat kata-kataku, JANGAN MENCOBA UNTUK BERLARI!”
Aku dan Freya mengabaikan peringatan pemilik rumah makan
itu. Freya melempar sendok ke lantai, dan kami berdua berlari
terbirit-birit tunggang langgang keluar dari rumah makan menyeramkan itu.
Setelah berlari cukup jauh dengan kecepatan yang tinggi,
aku dan Freya akhirnya berhenti melangkahkan kaki. Napasku terengah-engah, aku
berdiri dengan agak membungkuk untuk sedikit mengembalikan staminaku yang sudah
tiga-per-empat hilang akibat berlari terlalu jauh. Freya tiba-tiba menjerit,
lalu, ia melemparkan sebuah barang ke kepalaku.
Aku memegangi kepala sambil merintih kesakitan. Namun,
sakit di kepalaku lenyap begitu saja ketika mengetahui apa yang baru saja
dilempar oleh Freya. Sendok itu! Sendok yang tadi! Benda
kecil-dan-tak-berdaya-namun-berguna itu melayang layang di udara sejenak, lalu
perlahan masuk ke dalam saku kemejaku. Aku cepat-cepat melempar sendok itu ke
Freya, dan Freya spontan melemparnya ke arahku. Aku melempar sendok itu lagi,
dan Freya pun balas melempar. Kami berdua kembali berlari, menyusuri jalanan
Bali tak kenal arah, sambil melempar sendok ajaib itu ke satu sama lain.
“ERIK! Buang sendok itu jauh-jauh!” pekik Freya.
Aku balas memekik, “Oke! Habis gue lempar ni sendok, kita
lari secepet cepetnya!!”
Freya dan aku mengambil nafas panjang, kami berdua
berhitung secara bersamaan dari satu sampai tiga. “TIGA!” Dengan energi yang
tersisa di tubuhku, aku melempar sendok itu sejauh mungkin. Berharap sendok itu
akan terbang dan menghilang di telan planet Neptunus. Freya berlari
mendahuluiku, dan aku pun langsung ikut berlari sekencang-kencangnya.
Matahari sedang bergeser menuju barat ketika aku dan Freya
akhirnya menyerah. Kami memilih untuk berhenti berlari. Napasku maupun Freya
sama-sama terengah engah, detak jantung kami sama-sama berdegup dengan
tempo yang tak menentu. Kedua lutut kami melemas, menandakan sudah tidak kuat
lagi menopang seluruh tubuh. Sendok ajaib itu masih berada di antara kami
berdua, membuat aku tersadar akan sesuatu. Sejauh apapun aku berlari, benda
kecil-dan-tak-berdaya-namun-berguna itu pasti akan tetap mengikutiku.
Aku dan Freya memandangi sekitar, hendak mencari tahu
dimana keberadaan kami sekarang. Jujur saja, aku merasa aku sudah berlari
sampai ke perbatasan Nepal – Tibet. Pikiranku mengatakan bahwa aku sudah berada
tepat di depan gunung Everest. Namun, ternyata tidak. Bibirku spontan membentuk
huruf O besar ketika mengetahui dimana aku dan Freya berada. Kami berdua berada
tepat di depan...... rumah makan yang menjadi sumber sendok ajaib itu.
Astaga, sesempit itukah dunia ini?
Aku menoleh ke arah Freya dengan gaya penuh drama,
melemparkan pandangan bertanya padanya. Ia memandangku balik sebelum akhirnya mengedikkan bahu.
Entah habis disambar petir atau diguyur seember air, Freya tiba-tiba
memberanikan diri untuk meraih sendok yang tergeletak di tanah. Dengan sekali tarik, ia menarik
lengan kemejaku dan membawaku masuk ke dalam rumah makan.
Ketika Freya mendorong pintu rumah makan, pandanganku
langsung terarah pada wanita paruh baya, atau lebih tepatnya wanita pemilik
rumah makan. Wanita itu masih memakai baju yang sama seperti tadi,
menyadarkanku bahwa aku sedang tidak berada dalam alam mimpi. Raut wajahnya
terlihat begitu gembira ketika melihat aku dan Freya muncul dari balik pintu.
“Aku sudah bilang, jangan berlari.” Pemilik rumah makan itu
mengambil alih sendok dari tangan Freya. “Aku bisa menaklukkan sendok ini.”
Ia mulai mengelus-elus sendok ajaib itu dengan penuh kasih sayang, seakan-akan sendok itu adalah kucing persia yang bulu-bulunya lebat dan halus.
“Dia tidak akan mengikutiku lagi, kan?” tanya Freya.
Wanita itu tertawa, memperlihatkan barisan giginya yang
tidak teratur. “Tidak. Dia sudah kujinakkan,” katanya lalu melanjutkan, “Oh ya,
ini kuberikan padamu. Kalian berdua pantas mendapatkan sendok ini.”
Freya dan aku menggelengkan kepala mantap, menolak
mentah-mentah pemberian pemilik rumah makan itu.
“Tidak usah takut.” Pemilik rumah makan itu menaruh sendok
di tangan Freya. “Kau mengoleksi bermacam-macam sendok, bukan?”
“Bagaimana kau bisa tahu?” aku bertanya dengan nada
penasaran, mewakili Freya yang sepertinya tak bisa berkata-kata. “Dan, sebenarnya
ada makluk apa di dalam sendok itu?”
“Aku mempunyai kemampuan yang tak kalian tahu. Dan tentang
sendok itu… sendok itu tidak berbahaya, percayalah.” Wanita itu menepuk
bahuku dan Freya, lalu berkata, “Untuk mendapatkan sesuatu, butuh kerja keras. Dan, kalian sudah melalui masa-masa kerja keras itu.”
Freya akhirnya menerima sendok itu dan memasukannya ke saku
celana. Kami berdua mengucapkan terima kasih, lalu pergi meninggalkan rumah
makan—sama sekali tidak berniat untuk bertanya lebih lanjut tentang asal usul
sendok ajaib satu itu. Aku berjalan dengan langkah dipercepat, berjanji
dalam hati tidak akan menginjakkan kaki di rumah makan itu lagi sampai kapanpun.
***
Aku dan Freya sedang berbaring di atas pasir pantai,
membiarkan air laut sesekali menjilati kaki kami berdua. Freya mengangkat
tinggi-tinggi benda kecil-dan-tak-berdaya-namun-berguna itu, memandanginya
dengan pandangan takjub sekaligus senang.
“Gue harus ceritain ini ke Moses dan Gia,” katanya.
Aku terdiam, kedua mataku memandangi matahari yang perlahan
menghilang seperti ditelan laut. Semilir angin sesekali meniupi wajahku dengan
begitu lembut dan manja. Aku kembali mengingat kejadian hari ini, kejadian yang
aneh namun membawa sebuah pelajaran tersendiri untukku.
Jika saja tadi aku mematuhi perintah pemilik rumah makan
itu—untuk tidak berlari meninggalkan rumah makan, aku dan Freya tidak usah
capek-capek berlari mengelilingi Bali. Hal itu membuatku mengerti sesuatu:
ketika hidup membawamu ke posisi yang menyulitkan, apa yang harus kau lakukan
adalah tetap berada di tempat dan melawannya.
Aku tersenyum, bangga dengan kesimpulan yang kubuat
sendiri.
-SELESAI-
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home