Monday, January 13, 2014

Pesan Di Balik Sebuah Sendok

FanFiction ini diambil dari novel Remember When karya Winna Efendi. 

-Erik's POV-

Bersahabatan dengan Freya sejak SD membuat aku terlalu mengenalnya. Aku tahu semua kelebihan dan kekurangannya. Aku juga tahu bakat tersembunyi yang diam-diam ia pendam. Aku tahu latar belakang keluarga dan masa lalunya. Aku tahu…… Entahlah. Yang jelas, aku tahu segalanya tentang Freya. Segalanya. Bahkan yang tidak diketahui oleh pacarnya, Moses.  

Seperti salah satunya: Freya suka mengoleksi sendok.

Aku tidak dapat melihat dari mana sisi menariknya sebuah benda kecil-dan-tak-berdaya-namun-berguna seperti sendok, tetapi, anehnya Freya bisa. Jika kau mau, ia dapat menjelaskan bagaimana perubahan sendok dari masa ke masa dengan begitu detail. Ia juga dapat menjelaskan proses pembuatan sendok dengan lancar.

Freya mempunyai berbagai macam bentuk, rupa dan jenis sendok. Mulai dari sendok untuk makan, sampai sendok untuk membuat adonan kue. Mulai dari sendok polos tanpa ukiran, sampai sendok dengan berbagai macam motif. Mulai dari sendok yang terbuat dari plastik, sampai sendok yang terbuat dari emas. Intinya, jika suatu saat dunia mengalami kebangkrutan sendok, Freya tentu bisa menjadi penyelamatnya.

Dan, disinilah kami berada. Di pulau Bali yang identik dengan indahnya suasana pantai. Tetapi, keindahan pantai sama sekali tidak membuat Freya tertarik. Sahabatku satu ini lebih memilih mengunjungi rumah makan demi rumah makan, hanya untuk mengincar apakah ada sendok yang belum masuk ke dalam kotak koleksinya.   

Aku pun terpaksa menuruti kemauannya. Oh ya, satu yang harus di catat, menjadi sahabat Freya berarti siap untuk dipermalukan. Aku sering kali menahan malu karena ditatap dengan seluruh penghuni rumah makan. Tatapan-tatapan itu seperti menyudutkan dan menyalahkanku karena telah membawa makhluk seaneh Freya–yang rela merengek-rengek pada penjaga kasir hanya demi mendapatkan sebuah sendok.

“Erik, liat deh... Sendoknya keren.” Freya mulai mengamati sendok yang baru saja diantarkan oleh pelayan. Sorotan matanya memancarkan ketertarikan yang luar biasa. “Kira-kira boleh—“

Aku buru-buru memotong, “Freya, ini di Bali. Jangan malu-maluin gue disini, dong.”

Freya cemberut. Ia menyodorkan sendok itu kepadaku, memintaku untuk mengamatinya terlebih dahulu. Aku mulai mengamati benda kecil-dan-tak-berdaya-namun-berguna itu dengan ogah ogahan. Beberapa detik kemudian, harus kuakui, sendok itu berhasil menyedot seluruh perhatianku sampai habis.

Sendok itu….. unik. Ujung gagang sendoknya terukir sebuah bunga matahari, dengan kelopak bunga yang terbuat dari intan. Tangkai bunganya terukir rapi di sepanjang gagang sendok, warna emas yang menyala pada tangkai bunga itu berpantulan dengan dinding mataku, menyebabkan kilauan silau yang otomatis membuat kedua mataku menutup dengan sendirinya.

Aku mulai membandingkan sendok itu dengan sendok yang berada di piringku. Sendok makanku berbentuk stainless steel tanpa ukiran, dan tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan sendok Freya. Perbandingannya itu seperti ketika kau melihat bunga anggrek, dan di sebelahnya terdapat kotoran ayam. Keindahannya berbeda jauh, bukan?

Kujelajahi seluruh penjuru ruangan, ingin tau apakah ada sendok seperti punya Freya. Dan beginilah hasil pengamatanku: semua pengunjung rumah makan ini menggunakan sendok yang sama denganku. Tidak ada yang menggunakan sendok seperti punya Freya.

Freya menyikut lenganku pelan, tersenyum menggoda. Sial, ia berhasil membaca raut wajahku yang terlihat terkesima dengan sendok itu. Ahh. Bodoh. Kenapa aku bisa tertarik dengan benda kecil-dan-tak-berdaya-namun-berguna ini?

“Jadi, gimana?” tanya Freya, wajahnya terlihat begitu semangat.

Aku melambaikan tangan tinggi-tinggi, mencoba mencari pelayan yang sedang tidak sibuk dengan pekerjaannya. Rumah makan ini sangat ramai, jadi aku tidak mau menganggu pekerjaan mereka hanya untuk membahas tentang sebuah sendok.

Salah satu pelayan berjalan menghampiri mejaku. Aku sebenarnya sedikit ragu, namun bibir Freya yang langsung terangkat dan membentuk seulas senyum lebar membuatku tidak tega untuk membatalkan niatku untuk membantunya.

Kedua mata pelayan itu langsung membelalak ketika melihat sendok yang berada di genggamanku. Aku agak khawatir, khawatir jika bola matanya akan copot saat itu juga dan terbang ke laut pantai Kuta. Tubuh pelayan itu tiba-tiba bergemetar sangat kuat, membuatku refleks merapatkan kursi lebih dekat pada Freya.

Beberapa pelayan ikut menghampiri mejaku dan Freya. Setelah mereka melihat sendok yang berada di genggamanku, raut wajah mereka pun tidak berbeda dengan pelayan pertama yang tadi kupanggil. Tangan mereka bergetar, ekspresi wajah mereka ketakutan, gerak gerik mereka seperti orang kesurupan.

Semakin banyak pelayan yang menghampiri mejaku dan Freya, semakin banyak juga jiwa-jiwa yang kesurupan. Tingkah laku mereka sangat aneh, dan aku mendapati diriku bertanya-tanya dalam hati apa yang sebenarnya sedang terjadi. Sungguh, tempat ini lebih cocok untuk disebut pusat penginapan roh jahat daripada rumah makan.

Freya memegang tanganku erat. Tangannya bergemetaran, seolah menunjukkan ia sedang ketakutan. Jantungku juga berdegup tiga-per-empat lebih cepat dari biasanya, menandakan bahwa aku juga takut. Namun, untuk menjaga sisi kejantananku, aku harus belagak menjadi pemberani.

Seorang wanita paruh baya menghampiri mejaku. Sepertinya, wanita itu adalah pemilik rumah makan. Aku dapat menyimpulkan begitu karena melihat bajunya yang lebih formal dan ekspresi wajahnya yang menyiratkan ketegasan.

Tidak beda dari ekspresi pelayan pelayan tadi, kedua mata pemilik rumah makan itu membelalak, namun sesaat kemudian ia berusaha untuk bersikap tenang. Ia memekik, “TARUH SENDOK ITU DI MEJA! SEKARANG!”

Karena sistem otakku yang sedang berada dalam keadaan terkejut sekaligus tersendat, aku bingung apa yang harus kulakukan. Sendok itu masih berada di tanganku sekitar lima detik lamanya, sampai sang pemilik rumah makan kembali memerintahkanku untuk menaruhnya di meja. Dengan gerakan cepat, kulemparkan sendok itu ke meja. Campuran antara perasaan janggal dan aneh mulai merasukiku.

“Sendok itu hanya ada dua di dunia ini. Sudah lama suami saya mencari sendok satunya yang hilang, dan kalian menemukannya. Terima kasih banyak!” pemilik rumah makan itu membungkuk, seolah sedang memberi hormat. “Kalian berdua percaya roh roh hitam ya?”

Aku dan Freya menggelengkan kepala kuat-kuat.

“Bagaimana bisa? Orang yang tidak percaya dengan roh hitam, tidak dapat melihat sendok ini. Pelayan pelayanku kesurupan karena mereka tidak percaya roh hitam.” Kata wanita paruh baya itu dengan nada santai, tidak sadar kalimatnya barusan berhasil membuatku dan Freya semakin ketakutan.

Freya yang tiba-tiba melonggarkan cengkramannya dari tanganku membuat aku menoleh. Pandangan matanya jatuh ke arah kemeja yang kukenakan. Kedua mataku otomatis bergerak mengikuti pandangan mata Freya, dan saat itu juga, aku lupa cara bernapas. Sendok dengan ukiran bunga matahari itu sedang berada di saku kemejaku! Benda kecil-dan-tak-berdaya-namun-berguna itu memancarkan cahaya yang begitu terang, membuatku harus memicingkan mata.

Aku buru-buru mengeluarkan sendok itu dari saku, dan karena saking takutnya, aku melempar sendok itu ke lantai.

“KENAPA KAU LEMPAR? Roh di sendok itu bisa mengejarmu,  anak muda!” wanita paruh baya itu mundur selangkah, seolah sedang bersiap-siap menghindari sesuatu.

“Rikkk..Rikk..” Freya mengguncang-guncangkan bahuku. “Liat ii..tu.”

Sendok itu bangkit dari ‘kematian’nya di lantai, lalu melayang-layang di udara. Perlahan, benda kecil-dan-tak-berdaya-namun-berguna itu mendekati wajahku, kemudian berpindah ke arah wajah Freya, dan memasuki saku celana Freya dengan gampangnya.

Sang pemilik rumah makan kembali berkata, “Jangan berlari! Ingat kata-kataku, JANGAN MENCOBA UNTUK BERLARI!”

Aku dan Freya mengabaikan peringatan pemilik rumah makan itu. Freya melempar sendok ke lantai, dan kami berdua berlari terbirit-birit tunggang langgang keluar dari rumah makan menyeramkan itu.

Setelah berlari cukup jauh dengan kecepatan yang tinggi, aku dan Freya akhirnya berhenti melangkahkan kaki. Napasku terengah-engah, aku berdiri dengan agak membungkuk untuk sedikit mengembalikan staminaku yang sudah tiga-per-empat hilang akibat berlari terlalu jauh. Freya tiba-tiba menjerit, lalu, ia melemparkan sebuah barang ke kepalaku.

Aku memegangi kepala sambil merintih kesakitan. Namun, sakit di kepalaku lenyap begitu saja ketika mengetahui apa yang baru saja dilempar oleh Freya. Sendok itu! Sendok yang tadi! Benda kecil-dan-tak-berdaya-namun-berguna itu melayang layang di udara sejenak, lalu perlahan masuk ke dalam saku kemejaku. Aku cepat-cepat melempar sendok itu ke Freya, dan Freya spontan melemparnya ke arahku. Aku melempar sendok itu lagi, dan Freya pun balas melempar. Kami berdua kembali berlari, menyusuri jalanan Bali tak kenal arah, sambil melempar sendok ajaib itu ke satu sama lain.

“ERIK! Buang sendok itu jauh-jauh!” pekik Freya.

Aku balas memekik, “Oke! Habis gue lempar ni sendok, kita lari secepet cepetnya!!”

Freya dan aku mengambil nafas panjang, kami berdua berhitung secara bersamaan dari satu sampai tiga. “TIGA!” Dengan energi yang tersisa di tubuhku, aku melempar sendok itu sejauh mungkin. Berharap sendok itu akan terbang dan menghilang di telan planet Neptunus. Freya berlari mendahuluiku, dan aku pun langsung ikut berlari sekencang-kencangnya.  

Matahari sedang bergeser menuju barat ketika aku dan Freya akhirnya menyerah. Kami memilih untuk berhenti berlari. Napasku maupun Freya sama-sama terengah engah, detak jantung kami sama-sama berdegup dengan tempo yang tak menentu. Kedua lutut kami melemas, menandakan sudah tidak kuat lagi menopang seluruh tubuh. Sendok ajaib itu masih berada di antara kami berdua, membuat aku tersadar akan sesuatu. Sejauh apapun aku berlari, benda kecil-dan-tak-berdaya-namun-berguna itu pasti akan tetap mengikutiku.

Aku dan Freya memandangi sekitar, hendak mencari tahu dimana keberadaan kami sekarang. Jujur saja, aku merasa aku sudah berlari sampai ke perbatasan Nepal – Tibet. Pikiranku mengatakan bahwa aku sudah berada tepat di depan gunung Everest. Namun, ternyata tidak. Bibirku spontan membentuk huruf O besar ketika mengetahui dimana aku dan Freya berada. Kami berdua berada tepat di depan...... rumah makan yang menjadi sumber sendok ajaib itu.

Astaga, sesempit itukah dunia ini?

Aku menoleh ke arah Freya dengan gaya penuh drama, melemparkan pandangan bertanya padanya. Ia memandangku balik sebelum akhirnya mengedikkan bahu.

Entah habis disambar petir atau diguyur seember air, Freya tiba-tiba memberanikan diri untuk meraih sendok yang tergeletak di tanah. Dengan sekali tarik, ia menarik lengan kemejaku dan membawaku masuk ke dalam rumah makan.

Ketika Freya mendorong pintu rumah makan, pandanganku langsung terarah pada wanita paruh baya, atau lebih tepatnya wanita pemilik rumah makan. Wanita itu masih memakai baju yang sama seperti tadi, menyadarkanku bahwa aku sedang tidak berada dalam alam mimpi. Raut wajahnya terlihat begitu gembira ketika melihat aku dan Freya muncul dari balik pintu.

“Aku sudah bilang, jangan berlari.” Pemilik rumah makan itu mengambil alih sendok dari tangan Freya. “Aku bisa menaklukkan sendok ini.” Ia  mulai mengelus-elus sendok ajaib itu dengan penuh kasih sayang, seakan-akan sendok itu adalah kucing persia yang bulu-bulunya lebat dan halus.

“Dia tidak akan mengikutiku lagi, kan?” tanya Freya.

Wanita itu tertawa, memperlihatkan barisan giginya yang tidak teratur. “Tidak. Dia sudah kujinakkan,” katanya lalu melanjutkan, “Oh ya, ini kuberikan padamu. Kalian berdua pantas mendapatkan sendok ini.”

Freya dan aku menggelengkan kepala mantap, menolak mentah-mentah pemberian pemilik rumah makan itu.

“Tidak usah takut.” Pemilik rumah makan itu menaruh sendok di tangan Freya. “Kau mengoleksi bermacam-macam sendok, bukan?”

“Bagaimana kau bisa tahu?” aku bertanya dengan nada penasaran, mewakili Freya yang sepertinya tak bisa berkata-kata. “Dan, sebenarnya ada makluk apa di dalam sendok itu?”

“Aku mempunyai kemampuan yang tak kalian tahu. Dan tentang sendok itu… sendok itu tidak berbahaya, percayalah.”  Wanita itu menepuk bahuku dan Freya, lalu berkata, “Untuk mendapatkan sesuatu, butuh kerja keras. Dan, kalian sudah melalui masa-masa kerja keras itu.”

Freya akhirnya menerima sendok itu dan memasukannya ke saku celana. Kami berdua mengucapkan terima kasih, lalu pergi meninggalkan rumah makan—sama sekali tidak berniat untuk bertanya lebih lanjut tentang asal usul sendok ajaib satu itu. Aku berjalan dengan langkah dipercepat, berjanji dalam hati tidak akan menginjakkan kaki di rumah makan itu lagi sampai kapanpun.
***

Aku dan Freya sedang berbaring di atas pasir pantai, membiarkan air laut sesekali menjilati kaki kami berdua. Freya mengangkat tinggi-tinggi benda kecil-dan-tak-berdaya-namun-berguna itu, memandanginya dengan pandangan takjub sekaligus senang.

“Gue harus ceritain ini ke Moses dan Gia,” katanya.

Aku terdiam, kedua mataku memandangi matahari yang perlahan menghilang seperti ditelan laut. Semilir angin sesekali meniupi wajahku dengan begitu lembut dan manja. Aku kembali mengingat kejadian hari ini, kejadian yang aneh namun membawa sebuah pelajaran tersendiri untukku.

Jika saja tadi aku mematuhi perintah pemilik rumah makan itu—untuk tidak berlari meninggalkan rumah makan, aku dan Freya tidak usah capek-capek berlari mengelilingi Bali. Hal itu membuatku mengerti sesuatu: ketika hidup membawamu ke posisi yang menyulitkan, apa yang harus kau lakukan adalah tetap berada di tempat dan melawannya.

Aku tersenyum, bangga dengan kesimpulan yang kubuat sendiri.  

-SELESAI-

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home