Wednesday, January 7, 2015

Cerpen "Baik vs Tulus"

Dibuat tanggal: 2 February 2015.
Karya: Felicia Sutanto

Ninditha’s POV

“Ma, jadi orang setia itu nggak enak ya?”

Pertanyaan itu berasal dari mulutku. Sebenarnya, aku tidak yakin apa alasan aku bertanya seperti itu. Yang kutau, pertanyaan itu terlontar begitu saja, seolah memang mewakili hati kecilku. Haha, hati. Aku bahkan tidak yakin apakah aku masih mempunyai hati. Apa lagi, setelah dikecewakan berulang kali oleh orang-orang yang….

Sudahlah.   

Mama menoleh ke arahku, lalu menaruh kertas-kertas yang entah apa isinya diatas meja. Dia melepas kacamata, membuatku dapat melihat lingkar hitam yang menggantung di bawah matanya dengan jelas. “Kenapa tiba-tiba tanya begitu?” tanyanya.

Aku menyandarkan punggung ke sandaran kursi, mendesah pelan. “Ya, tanya aja.”

Mama kembali berkutat dengan setumpuk kertas yang berada di mejanya. Aku kembali mendesah, mama memang selalu sibuk. “Waktu dulu kamu memilih untuk setia sama dia, apa alasannya?” tanyanya tiba-tiba, membuatku terdiam sejenak.

Aku menatap kedua mata mama, sebelum akhirnya menjawab, “kenapa ya? Ya, karena udah sayang, Ma.”

“Yakin sayang?” tanyanya sekali lagi. Dari nada bicaranya, mama seperti ingin memastikan sesuatu.

“Yakin lah, ma,” jawabku dengan mantap.

“Kalau kamu beneran sayang sama dia, berarti kamu tulus sayang sama dia. Dan kalau kamu tulus sayang sama dia, kamu nggak akan nanya pertanyaan seperti tadi.” Mama kembali mengenakan kacamatanya, lalu menuliskan sesuatu di atas kertas.

Aku menelan ludah. Kedua mataku masih terpaku pada meja kerja mama, kalimat mama barusan terputar kembali di  benakku, membuatku otakku secara otomatis mencerna setiap kata yang dilontarkan beliau.

“Bukannya nggak tulus.”

“Lalu?”

“Penasaran aja, ma,” kataku. “Kenapa ya, kebanyakan orang tulus malah ujung-ujungnya tersakiti? Apa jangan-jangan, orang tulus memang ditakdirkan untuk disakiti?”

Mama menghentikan segala aktivitasnya, lalu menatapku lurus-lurus. Dari tatapan matanya, aku dapat membaca tatapannya yang seolah-olah sedang mencari sebuah petunjuk dari wajahku. “Anak mama satu ini lagi galau, ya?”

Aku bergidik geli. Galau? Yang benar saja. Galau. Kata satu itu hanya berada di kamus-kamus orang yang mudah putus asa. Dan aku, bukan orang seperti itu. Satu kata itu tidak pernah dan tidak akan pernah ada di kamus kehidupanku.

“Nggak lah,” bantahku. “Ngapain galau, ma.”

Mama tertawa, membuatku kebingungan sendiri apa alasannya tertawa seperti itu. Jujur saja, aku merasa diremehkan. Aku tidak pernah suka diremehkan, asal kau tau. “Apaan sih ma, aku nggak galau.”

“Ninditha,” panggil mama. “Dengerin mama.”

Aku duduk lebih tegap.

“Ada banyak sekali hal di dunia ini yang nggak sejalan dengan harapan kita. Kadang kita minta kebahagiaan, eh tapi malah dikasih sebaliknya. Kadang kita minta teman, eh malah dikasih musuh. Ya, begitulah hidup. Kita tidak akan pernah bisa mengaturnya.”

Mama melipat kedua tangannya diatas meja. Ia memandang lurus ke depan, seperti memikirkan sesuatu, lalu tersenyum kecil. Sesaat kemudian, kedua matanya beralih ke arahku. “Sama kayak hati. Kita nggak bisa mengaturnya. Kita nggak bisa memaksa hati buat berhenti atau memulai mencintai seseorang. Kita juga nggak bisa mengatur hati untuk tulus dan setia sama orang. Hati. Dan Hidup. Itu berputar dengan sendirinya. Kita nggak pernah bisa mengaturnya, Nindi.”

Aku berusaha mencerna kata demi kata mama satu per satu, mencoba untuk mengerti kemana arah pembicaraan mama.

Mama menyibakkan poninya, sebelum akhirnya kembali berkata, “dan kalau kamu tanya, kenapa orang-orang tulus sering disakiti, jawabannya gampang aja.”

Aku mempertajam indra pendengaranku, tidak ingin melewatkan kalimat mama sehabis ini. “Apa, ma? Karena orang-orang tulus nggak pantas mendapatkan sesuatu yang indah?”

Mama menggelengkan kepalanya pelan. “Untuk jadi tulus, butuh pelajaran. Dan kalau orang tulus disakiti, itu artinya, dia sedang diberi pelajaran.”

Pelajaran.

Aku baru saja mau bertanya ketika mama lebih cepat memotongku. “Asal kamu tau, orang baik sama orang tulus itu berbeda. Orang baik belum tentu tulus. Kalau orang tulus, sudah pasti baik.”

Kedua alisku mengernyit. Beberapa saat kemudian aku mengiyakan kalimat mama, menyetujui kalimatnya barusan.

Mama tersenyum hangat. “Biarkan saja. Suatu saat ketika dia sudah menemukan penggantimu yang lebih ‘baik’, dia akan mengerti. Kalau yang tulus seperti kamu, tidak akan pernah bisa digantikan oleh orang yang hanya sekedar ‘baik’.”

Terjawab sudah. Aku memberinya seulas senyum lebar, “terima kasih, Ma.”

Mama kembali tersenyum, lalu kembali larut dalam pekerjaannya.

The end, Ninditha.   

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home