Friday, January 9, 2015

Air Asia QZ 8501

Wow.

Kata itu yang menggambarkan perasaan saya. Bahkan, kalau ada kata yang lebih wow dari ‘wow’, sepertinya, saya membutuhkan kata itu sekarang.

Pagi itu, saya dikejutkan dengan berita tentang hilang kontaknya pesawat Air Asia QZ 8501 Surabaya - Singapura. Seharusnya kalau saya jadi berlibur ke Singapura, pesawat itulah yang saya dan keluarga akan tumpangi. Berita itu sempat membuat saya tercenung, bingung mau bereaksi seperti apa. Separuh dari diri saya menolak untuk menerima berita itu, namun separuhnya lagi memaksa saya untuk mempercayainya.

Seolah rasa terkejut yang saya rasakan belum cukup, saya kembali dikejutkan dengan berita bahwa di dalam pesawat tersebut ada kedua orang tua dan adik dari teman saya. Bulu kuduk saya seketika meremang, pikiran saya melayang kesana kemari. Rasa khawatir mulai menyerbu hati saya. Jari-jari saya otomatis mencari nama teman saya di kontak LINE, ingin mengirimkan sebuah pesan semangat kepadanya, namun tak satu katapun terketik di layar. Sistem otak saya seperti terhenti, tak mampu merangkai kata-kata bahkan untuk menulis satu huruf saja.

Hidup tanpa keluarga? Saya tidak pernah membayangkan itu. Bayangan seperti itu tidak pernah sekalipun menembus pikiran saya, sampai pada hari itu, saya sadar bahwa orang-orang di sekitar saya sekarang, tidak bisa selamanya mendampingi saya. Keluarg bisa pergi kapan saja.

Sebagai salah satu warga Surabaya, saya ikut merasakan kesedihan yang dirasakan keluarga para penumpang pesawat Airbus 320 tersebut. Entah mengapa, saya yang semula sama sekali tidak suka membaca berita, menjadi orang yang sering sekali me-refresh laman detik.com di HP saya. Saya seperti tidak ingin ketinggalan secuil informasi apapun itu.

Menonton berita juga merupakan kegiatan yang sangat saya hindari. Namun, sekali lagi, entah mengapa, saya mendapati diri saya duduk ruang tamu, menonton acara berita, dan menyimak segala informasi terbaru yang tidak ingin saya lewatkan. Tindakan yang sebenarnya susah untuk dipercaya, mengingat saya bukanlah type orang yang suka mendengarkan, menonton, atau membaca berita.

Tetapi, kembali lagi, ini bukan mengenai suka atau tidak suka. Ini mengenai rasa peduli terhadap sesama.

Melihat tayangan yang berada di televisi, saya sempat tak bisa menahan air mata. Bagaimana raut wajah keluarga penumpang memandangi daftar nama, berharap tidak menemukan nama orang yang ia kenali, namun kenyataan mengatakan sebaliknya. Melihat bagaimana mereka mengeluarkan air mata yang tak kunjung berhenti, ada rasa tidak percaya yang tersirat dari wajah mereka. Melihat bagaimana berdoa bersama untuk keselamatan keluarga mereka, menginginkan yang terbaik untuk keluarganya.

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jika saya berada di posisi mereka. Apakah saya akan tetap kuat? Saya rasa tidak. Namun, melihat bagaimana para keluarga penumpang baik di Bandara Juanda ataupun yang berkicau melalui social media, membuat saya tau akan satu hal: mereka percaya akan namanya pengharapan. Mereka percaya. Mereka percaya seluruh penumang dapat ditemukan dengan selamat. Mereka percaya itu. Begitu juga dengan saya. Mungkin mustahil untuk manusia, namun, kita punya Tuhan kita tidak mengenal kata mustahil, bukan?  

Pengharapan itu mulai tumbuh di dasar hati saya. Saya terus-terusan memanjatkan doa agar pesawat cepat ditemukan dengan seluruh penumpangnya.

26 jam terlewati, namun pesawat belum terdengar kabarnya. Harapan mengenai keadaan para penumpang yang semula menyala-nyala, perlahan mulai memudar. Perlahan-lahan harapan itu sirna, memang tidak seutuhnya, tetapi sebagian harapan itu hilang. 

Adik saya yang berusia sepuluh tahun, memiliki teman yang cukup akrab di dalam pesawat itu. Ia berkata kepada mama saya, “aduh, ma, Niko gimana ya di laut. Udah malem gini. Pasti dingin.”

Kalimatnya berhasil membuat mata saya berkaca-kaca. Dia juga merasakan kekhawatiran yang sama dengan saya. Dia, yang merupakan bocah berusia sepuluh tahun, ikut merasakan kehilangan. Dia mengerti. Kedua matanya yang berkaca-kaca menjelaskan semuanya.

Sekali lagi, dia mengerti.

Secercah harapan itu kembali tumbuh ketika berita ditemukannya serpihan pesawat di Selat Karimata. Ketika mendengar berita itu, saya langsung meloncat dari tempat tidur, buru-buru menyalakan TV untuk mendengarkan berita terbaru.

Sesekali, kedua mata saya berpindah ke handphone, memeriksa social media yang semakin ramai. Kisah-kisah dibalik kehidupan para penumpang yang sempat membuat tubuh saya lemas ketika membacanya, sempat berharap semua ini hanyalah mimpi buruk.

Ketika berita mengenai ditemukannya tiga jenazah, saya melihat bagaimana keluarga penumpang semakin menangis. Ingin rasanya memeluk mereka, mengatakan bahwa semua pasti akan baik-baik saja, memang bukan sekarang, namun, suatu saat nanti, semua pasti akan baik-baik saja. Ingin rasanya memberi kata-kata semangat untuk membangkitkan semangat mereka. Ingin rasanya menjadi orang yang berada di samping mereka, menguatkan mereka.

Namun, saya hanya bisa berada di sini, membantu doa.

Pengharapan yang sejak awal saya tanamkan di hati saya masih menyala. Masih ada sebagian dari diri saya yang berharap para penumpang dapat ditemukan dengan kondisi baik-baik saja. Harapan itu belum mati.

Satu yang saya percaya, kalau Tuhan menghendaki dan mengijinkan semua ini terjadi, saya percaya, DIA tidak lupa untuk memberikan jalan keluarnya. Untuk orang-orang yang ditinggal, jangan putus asa. Jangan berlarut dalam kesedihan, karena percayalah, semua akan baik-baik saja. Manusia tinggal dan pergi, kau harus menerima itu.

Untung kamu, yang ditinggalkan kedua orang tuamu, jangan putus asa. Kembalilah belajar dengan giat, buktikkan kepada orangtuamu bahwa kamu bisa. Buat mereka bangga. Biarkan kedua orang tuamu tersenyum diatas sana karena memiliki buah hati sepertimu.

Untuk kamu, yang ditinggalkan kekasihmu, jangan bersedih. Dia sedang tersenyum diatas sana, karena sekarang, dia dapat menjagamu selama 24 jam. Percayalah, dia tidak kemana-mana. Dia berada di sekelilingmu.

Untuk kamu, yang ditinggalkan sahabatmu, tersenyumlah. Sahabatmu sedang tersenyum melihatmu sekarang. Dia bangga mempunyaimu. Mungkin kau tidak bisa bertemu dengannya kembali, namun, kau dan dia sudah menjadi satu. Ya, menjadi satu. Menjadi satu atas nama persahabatan.

Mereka tidak ‘mati’. Mereka hanya terbang lebih tinggi. :) 

“Mom, why do the best people die early?”
“When you’re in a garden, which flowers do you pick?”
“The most beautiful ones.”

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home