Saturday, December 19, 2015

Antara Cinta dan Bisul

Sore itu gue dan adik gue baru saja selesai berenang. Lalu, dia tiba-tiba ngomel, "ce telingaku kok sakit ya. Ah aku ngga mau renang lagi deh."

Padahal, sebelum-sebelumnya, ia sudah berjanji pada alam semesta dan pada dirinya sendiri bahwa ia akan rutin olahraga berenang.

Awalnya gue tidak terlalu menanggapi keluhannya. Namun, hari demi hari berlalu, gue menyadari ada yang salah dengan indra pendengarannya. Dia jadi tidak peka ketika gue memanggilnya satu-dua kali, seringkali, gue harus berteriak sampai dia bisa bener-bener denger panggilan gue.

Dia juga jadi lebih sering mengeluh karna rasa sakit di telinganya. Biasanya, ia akan berkata, "duh ce kok telingaku kayak kemasukan air ya."

Tidak hanya itu, pertanyaan dan pernyataan lainnya mulai menyusul. Kebanyakan ia akan mengeluh karena tidak dapat mendengar suara sekitar, tapi bisa mendengar dengan jelas suara yang berada di dalam tubuhnya. Seperti, 
"Eh, ce, kamu kalo lagi minum air bisa denger suara air masuk ke badan kamu sendiri gitu ga sih?" 
"Aku lo ce kalo lagi ngunyah makanan kedengeran banget di telinga." 
"Suaraku kecil banget ga sih ce? Kok aku ga denger suaraku sendiri ya." *padahal kenceng banget suaranya*
"Ce kamu bisa denger aku nelen air ta?"


Beberapa hari kemudian, kedua orang tua gue memutuskan untuk membawa adek gue ke rumah sakit. Lalu, dia pulang membawa berita yang cukup mengejutkan.

Di telinganya ada bisul.

Gue nggak tau harus bereaksi seperti apa. Entah harus memasang wajah prihatin, atau menertawainya habis-habisan. Jangan menyebut gue kakak durhaka, tapi, siapa sih yang nggak ketawa kalau bisulnya ada di telinga?

Bisul, man.

Bisul,

Bisul.

Bisul?

Bisul!


HAHAHAHHA bisa gila gue. Tapi, bisul.

Oke lanjut cerita.

Sepulang dari dokter THT, tingkat kebudekannya semakin menjadi-jadi. Ini karena dia harus meneteskan semacam obat cairan ke dalam telinganya, gunanya untuk melunakkan kotoran dan bisul di telinganya. Cairan itu membuat telinganya terasa penuh, dan akibatnya dia kurang bisa mendengarkan dengan baik.

Pernah ada suatu kali ketika ia sedang memakai cairan tersebut, lalu nyokap gue dari dapur teriak manggil dia. Untuk telinga ukuran normal, seperti gue misalnya, gue dapat mendengarnya dengan jelas. Kelewat jelas malah, karna nyokap teriaknya lumayan kenceng. Tapi, adek gue tercinta malah nggak denger apa-apa.

Gue tanya, "kamu nggak denger mama manggil?"

Dia langsung histeris. "Hah? Mama manggil? Ohya???" Lalu, dia keluar kamar dan berteriak, "APAA MAAA?"

"Harus banget ya teriak kayak gitu?" Tanya gue.

"Apa ce?"

Gue menahan napas. "Ngga apa-apa, deh."

"Hah??"

Gue bertanya dengan agak membesarkan suara, "Kemarin kenapa ngga langsung dibersihin aja sih sama dokternya?"

"Soalnya sakit."

Gue pernah pergi ke THT beberapa tahun lalu, tapi bukan gara-gara ada bisul. Cuman sekedar pengen bersihin telinga aja. Dan seinget gue, nggak ada rasa sakit sama sekali ketika dibersihkan. Maka gue berkata, "Kapanan aku bersihin telinga ngga sakit, tuh."

"Apa ce?"

YA-TUHANKU-YANG-MAHA-ESA. Gue berkata sekali lagi, "dulu waktu telingaku di bersihin ngga sakit, tuh."

"YA SOALNYA KAN GARA GARA KAMU GAADA BISULNYA!"

Lah? Kok malah ngegas dia? Tapi, jawabannya masuk akal.

Setelah kejadian itu, gue sering mendapati dia menyumpel tissue di kedua telinganya, gue juga nggak tau kenapa. Pernah satu kali, waktu itu gue habis mandi. Gue masuk kamar, dan mendapati adek gue duduk membelakangi gue, dengan kedua tissue yang tersumpal di telinganya.

Gue sempat terkejut. Namun beberapa saat kemudian gue bersyukur. Bersyukur karena masih untung tissuenya di telinga. Kalau di hidung, mungkin gue sudah mengira dia pocong. Atau mayat hidup.

Dua hari kemudian, dia kembali ke rumah sakit untuk control. Kali ini, gue ikut bersamanya. Gue disana untuk melihat bagaimana dia menggigit bibir ketika dokter mulai memasukkan bor (gue nggak tau apa nama alatnya, jadi katakan saja bor). Gue juga melihat ekspresi senangnya ketika kedua telinganya sudah selesai dibersihkan. Gue menjadi saksi hidup pemulihan adek gue hari itu, sodara-sodara!

Seingat gue, dulu waktu habis dibersihkan telinganya, pendengaran gue berubah jadi sama sekali jernih. Gue bahkan bisa mendengar Justin Bieber sedang berbicara dengan assistennya di Canada. Eh gakdeng. Nggak segitunya. Pokoknya, telinga gue jadi super peka.

"Wah! Aku udah bisa denger!" Seru Vivi pada dokter.

Gue bertanya, "gimana? Bisa denger semuanya?"

"Bisa!"

"Bisa sampe denger suara mesin mobil di parkiran, ngga?"

"Ya nggak lah!"

Gue tertawa.

Vivi bertanya pada dokter, "lho dok, jadi, ini udah nggak ada bisul di telingaku?"

Dokter tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Udah bersih. Total."

"Wah obat kemarin manjur ya. Padahal cuman dua hari pake nya."

Sang dokter hanya tersenyum.

Ah, andai sakit hati juga semudah itu menyembuhkannya. Hanya perlu meminum/memakai obat, pergi ke dokter untuk melakukan control, lalu sakit itu akan lenyap seketika.

Mungkin dengan begitu, sakit hati tidak akan menjadi sakit yang paling berbahaya. Tidak akan ada yang namanya bunuh diri karena putus cinta, stress karena ditinggalkan kekasih, galau hingga jatuh sakit karena diselingkuhi.

Karena pada akhirnya, penyakit yang paling mengerikan dan berbahaya bukan penyakit yang melibatkan berbagai macam obat-obatan. Bukan juga yang melibatkan operasi dalam penyembuhannya.

Tetapi, penyakit yang paling mengerikan sekaligus membahayakan adalah ketika melibatkan emosi dalam penyembuhannya.

Obat paling manjur untuk menetralkan emosi? Semua orang punya jawabannya masing-masing. Lo dan gue bisa mempunyai jawaban yang sama, ataupun berbeda.

Kalau obat gue, ya orang-orang yang berada di terdekat gue. Gimana dengan lo?

Ini kenapa gue jadi baper begini ya..

Sebagai penutup, siang itu gue berada di kamar mandi umum Tunjungan Plaza bersama adek gue. Tiba-tiba, setelah mengeluarkan cairan, adek gue bertanya,

"Ce, tadi kamu denger suara pipisku ngga, sih?"

Gue terdiam. Sudah malas menanggapi.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home