Sunday, December 20, 2015

Benarkah waktu menyembuhkan luka?

Tiga bulan yang lalu, pembantu rumah tangga saya pulang ke kampung halamannya. Ayahnya meninggal dunia, kenyataan itu seperti sebuah tamparan yang keras untuknya, karena berita itu datang secara tiba-tiba.

Pada awalnya, agak sulit beradaptasi dengan suasana setelah Mbak Veny pulang. Biasanya, pada malam hari, tawanya yang cirikhas—keras dan lantang, selalu menjadi melodi tersendiri di rumah saya. Biasanya, saya akan bertukar pandang dengan adik perempuan saya, berbicara melalui sorot mata: astaga-kenapa-ketawanya-harus-gitu-banget.

Yang tentu terasa adalah saya harus mengerjakan beberapa pekerjaan rumah tangga. Jujur saja, saya merasa berat hati harus bangun lima belas menit lebih pagi dari biasanya, lalu melipat dan memasukkan baju ke dalam mesin cuci.

Pekerjaan rumah tangga yang paling saya tidak sukai adalah: mencuci piring. Itu alasan mengapa saya seringkali makan lebih awal atau lebih akhir dari keluarga saya. Alasannya simple saja, saya malas mencuci piring banyak-banyak.Bukan licik, tapi lihai. Hehe.

Namun ada beberapa waktu ketika saya harus makan bersama keluarga saya. Dan di saat-saat itulah saya akan bernegoisasi dengan adik saya, memintanya untuk mencuci piring. Sebagai imbalannya, saya mengambil jatahnya menjemur baju.

Seiring berjalannya waktu, yang mulanya saya malas sekali untuk menyapu dan mengepel kamar, membersihkan kamar mandi, mencuci piring, membersihkan sepatu, saya menjadi terbiasa melakukannya. Pekerjaan-pekerjaan rumah tangga itu sudah menjadi bagian tersendiri di hari-hari saya, sehingga ketika saya tidak melakukannya, ada yang terasa ‘kosong’.

Kalau dibilang apakah saya sudah jatuh cinta pada pekerjaan-pekerjaan itu, jawabannya tidak. Saya mengerjakannya karena itu merupakan keharusan. Mutlak. Saya tidak bisa menolak. Hal ini yang membuat saya perlahan-lahan terbiasa.

Belakangan, saya mulai menghubungkannya dengan luka. Benar kata John Green,that's the thing about pain; it demands to be felt. Luka itu harus dirasakan. Kita tidak bisa menolaknya.

Lalu, ada beberapa pertanyaan yang memasukki benak akhir-akhir ini. Berapa lama luka itu harus dirasakan? Apakah waktu pada akhirnya dapat menghilangkan luka?

Anggap saja pekerjaan rumah tangga yang biasa saya lakukan adalah sebuah luka.

Berapa lama pekerjaan rumah tangga (luka) itu harus dirasakan?

Entahlah. Sampai Mbak Veny kembali, mungkin?

Apakah waktu pada akhirnya dapat menghilangkan rasa malas (luka) saya ketika melakukan pekerjaan rumah tangga?

Kurasa, tidak. Saya sering mendapati diri saya sendiri masih mengeluh ketika mengerjakannya. Masih ada rasa malas. Namun saya melawan rasa tersebut. Dan lama kelamaan, saya terbiasa.

Waktu tidak menghilangkan rasa malas itu, waktu hanya membantu saya untuk berteman dengan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Pekerjaan-pekerjaan itu secara otomatis sudah menjadi bagian dari saya.

Dari sini saya dapat menarik satu kesimpulan. Waktu tidak menyembuhkan/menghilangkan luka. Mungkin bisa mengurangi, tetapi untuk menyembuhkan secara total, saya rasa tidak bisa. Luka itu akan selalu tetap menghiasi hati kita semua.

Menurut saya, waktu adalah sesuatu yang kita gunakan untuk berteman dengan luka. Waktu yang membuat kita terbiasa dengan luka itu. Sehingga ketika luka itu datang menyerbu, kau tidak akan sesakit ketika pertama kali merasakan luka. Karena kau sudah terbiasa dengan luka itu. Karena kau sudah menjadi satu dengan luka itu. Luka itu sudah menjadi bagian dari dirimu.

Soal berapa lama yang dibutuhkan untuk berteman dengan luka, saya yakin kita semua punya jawaban masing-masing. Kalau kau mau cepat berteman dengan luka, simple saja: akui dulu bahwa kau terluka. Terima kenyataan. Setelah itu, akan sangat mudah untuk berteman dengan luka.

Begitu pendapat saya. Bagaimana denganmu? Akan sangat menyenangkan ketika bisa mendengar pendapatmu di kolom komentar. Terimakasih! 

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home