Monday, December 21, 2015

Curahan Hati Seorang Murid Yang Merindukan Sekolah

Gue nggak tau apa gue kena kutuk apa gimana. Tapi, gue kangen sekolah.

Sekedar informasi, kalau hari sekolah, gue hanya membutuhkan waktu sepuluh menit untuk bangkit dari tempat tidur, mandi, mengenakan seragam, memakai kaos kaki dan sepatu, lalu mengambil jatah sarapan di meja. Gue melakukan semua itu dengan kecepatan turbo. Helaan napas panjang baru bisa gue lakukan ketika gue sudah duduk cantik di mobil.

Rutinitas pagi gue selalu seperti itu. Selalu se-buru-buru itu. Dan gue kangen rutinitas pagi gue, yang nggak bisa gue lakukan kalau lagi liburan.

Hal lain yang gue rindukan adalah lingkungan sekolah, yang omong-omong hijau banget. Banyak tanaman-tanaman yang menghiasi sisi-sisi sekolah. Gue juga kangen ayam beserta binatang-binatang lain yang ada di sekolah. Fyi, kalau lo mau ke mini zoo tapi males ke kebun binatang, lo bisa datang ke sekolah gue. Ayam? Angsa? Ikan? Kura-kura? Burung merah? Burung biru? Burung hijau? Burung kuning? Kelelawar? Ada semua di sekolah gue.

Anjing? Ada juga. Mantan gue, tuh. HAHHAHA gakdeng. Tapi beneran, di sekolah gue ada 2 anjing.

Ohya, bangunan sekolah gue mengambil perpaduan antara warna biru dan kuning, membuat siapapun yang melihat sekolah gue pasti melek. Gue bersyukur sekolah gue tidak mengecat temboknya dengan warna putih layaknya rumah sakit atau penjara. Setidaknya, fakta tersebut mengurangi satu dari beribu-ribu alasan gue benci sama sekolah.

Tapi, sebenci-bencinya gue sama sekolah, gue akan tetap merindukannya ketika liburan panjang datang.

Gue rindu duduk di bangku kelas, mendengarkan guru mengajar sampai terkantuk-kantuk. Gue juga rindu dengan setumpuk tugas dan ulangan yang saling tumpang tindih, walaupun terkadang itu semua membuat resah.

Gue rindu gila-gilaan bareng temen sekelas gue, teriak-teriak layaknya anak SD, berlari menuju kantin lalu berebutan kursi untuk duduk, dan memutuskan trend makanan kantin yang dijadikan makanan rutin kami bersama selama satu minggu atau lebih.

Aksi contek menyontek khas kelas gue yang terang-terangan, membolos kelas yang membosankan, melahap permen diam-diam juga menjadi salah satu aktivitas yang gue rindukan.

Gue kangen sama beberapa guru gue yang super gaul, yang sangat mengerti hati dan perasaan anak SMA. Tapi, gue ngga kalah kangen sama beberapa guru gue yang killer, yang kalau lagi ngajar bikin jantung mau merosot ke ujung kaki gara-gara takut disuru maju dan mengerjakan soal.

Gue juga kangen sama petugas kebersihan, satpam dan supir sekolah gue yang ramah. Senyuman mereka itu terkadang menjadi mood booster tersendiri buat gue, karena gue melihat sebuah semangat disana.

Intinya, gue kangen sekolah.

Gini nih manusia. Kalo waktu musim panas, minta hujan. Kalo musim hujan, mintanya musim panas. Kalo sekolah, minta libur. Kalo libur, minta sekolah.

Selalu seperti itu. Nggak pernah puas.

Rasa rindu gue terhadap sekolah ini membuat gue berpikir. Kalau sekarang gue kangen sekolah, gue hanya perlu menunggu hingga tanggal masuk sekolah tiba. Tapi, kalau ntar gue sudah kuliah, terus gue kangen sekolah, kemana gue harus mengobati rasa rindu gue?

Gue sempat berpikir sejenak, lalu segera mendapatkan jawabannya.

Ke masa lalu. Dengan mengenang memori yang ada. Foto dan video, chat-chat mengenai pelajaran, kumpul-kumpul di rumah temen, kerja kelompok bareng, belajar sekaligus mengerjakan ulangan sama-sama. Itu semua akan menjadi sepenggal memori, yang akan gue jadikan bekal ketika gue rindu sekolah waktu kuliah nanti. 

Maka dari itu, gue mau membuat kenangan sebanyak-banyaknya. Gue mau membuat masa-masa SMA gue se-drama mungkin, supaya setidaknya ada yang gue kenang nantinya.

Disini gue tersadar. Nggak seharusnya gue mengeluh sana-sini karna tugas dan ulangan yang menumpuk. Nggak seharusnya gue mengeluh karna capek sekolah. Nggak seharusnya gue mengeluh karna teman-teman yang terkadang menyebalkan.

Daripada mengeluh, kenapa tidak dijalani saja? Toh, hidup cuman sekali, bakal sia-sia banget kalau cuman dipake buat mengeluh.

Gue memilih untuk bersyukur. Bersyukur diberi kemampuan untuk mengerjakan ulangan, bersyukur masih punya tenaga untuk menyelesaikan tugas-tugas, bersyukur masih bisa menuntut ilmu, bersyukur mempunyai teman sekelas yang asik.

Gue bersyukur.

Hari ini, gue menemukan hal-hal yang bisa gue syukuri dalam kehidupan gue. Gimana dengan lo? Sudah bersyukur belum?  Kalau belum, gih cari hal yang bisa disyukuri. Mantan lo tambah jelek, misalnya. :)

Sunday, December 20, 2015

Memasuki Zaman (Generasi) Edan

Jaman sudah semakin berkembang. Gue menyadari itu. Sebenarnya gue sudah sadar sejak lama, apalagi ketika melihat anak-anak SD sudah menggunakan Ipad dan berbagai macam tablet lainnya.Berbeda dengan gue dulu waktu SD, memegang handphone mainan dengan stiker barbie di depannya saja sudah luar biasa senang. Hm, gila ya, gue baru sadar ternyata gue secupu itu dulu.

Gue baru benar-benar menyadari bahwa jaman sudah berkembang ketika gue berbincang dengan sepupu (Michael) dan adek gue (Darren) di suatu siang. Omong-omong, mereka adalah bocah SD yang sudah mempunyai akun instagram, facebook, BBM, dan email. Lo belom punya semua itu? Maafkan gue, tapi lo harus malu karna kalah eksis sama dua bocah SD ini.

Dan omong-omong lagi, di instagram adek gue, sudah ada temannya yang berkomentar, 

"First!" 

Lalu temannya yang lain membalas, "ciyee first like."

Sudah kekinian sekali, bukan?

Mari kita kembali ke topik.

Waktu itu ada sebuah lagu yang diputar di radio mobil. Lagunya enak, tapi gue lupa judulnya apa. Gue bertanya kepada Vivi--adik perempuan gue yang duduk di bangku kelas 3 SMP. "Ini judulnya apa, ya?"

"Flashlight, Jessie J."

Gue melotot. Bola mata gue hampir keluar, tapi gue tahan. Nggak, gue melotot bukan gara-gara adek gue menyebutkan judul yang salah. Tapi, pertanyaan gue itu tadi dijawab oleh Michael--sepupu gue yang duduk di bangku kelas 2 SD.

"Lagu gitu aja kok nggak tau sih.." kata Darren, adek gue yang duduk di bangu kelas 6 SD.

Astaga. Gue diejek sama anak SD karena nggak tau judul lagu yang seharusnya gue, sebagai anak remaja tau. Pada saat itu, gue nggak tau mau taruh muka gue dimana. Rasanya pengen pinjem tempurungnya kura-kura buat berlindung.

Lalu, tidak berapa lama, gue mendengar Michael bernyanyi. 

"Baby I'm worth it..."

Aduh. Tau apa sih kamu, nak, tentang 'worth it'? Kamu nggak tau kan kalau di luar sana banyak gadis-gadis remaja yang rela melakukan apa saja demi mempertahankan cinta monyetnya, karna ia merasa semua perjuangan yang ia lakukan itu 'worth it'? Kamu tidak tau kann, nakk, seberapa berpengaruh dua kata itu??

Gila. Kenapa gue jadi curcol. Dasar, anak ABG.

Lalu kemudian, dia menyanyikan lagu lain. "If I got locked away.."

Gue kira dia akan berhenti disitu. Karena jujur aja, gue nggak hafal lirik setelah kata if-i-got-locked-away. Namun ia tetap bernyanyi, bahkan tanpa kesulitan. "And we lost it all today. Will you still love me the same?"
Ini lagi. Tau apa sih nak kamu tentang cinta??? Will you still love me the same? Tau apa sih kamu tentang seberapa bullshitnya kata itu, HAHH?

Fix gue lebay.

Gue inget waktu gue dulu SD, ada satu lagu sinetron yang suka gue nyanyiin. Judulnya Cinderella. Yang nyanyi Radja, kalo nggak salah. Sisanya, yang gue hafal adalah lagu anak-anak pada umumnya, bukan lagu cinta-cintaan yang Michael, sepupu gue dengerin. Gue bangga, sih. Walaupun tetep ujung-ujungnya gue bertumbuh menjadi gadis yang merasakan cinta monyet juga.

Semakin kesini, gue dapet satu hal. Sebenarnya, bukan zamannya yang 'gila'. Tapi, generasinya. Jadi, semua balik lagi ke diri kita masing-masing. Sebagai generasi penerus bangsa, bisa nggak, milah-milah mana yang baik, dan mana yang enggak? Mana yang positif, mana yang negatif?

Yuk mari direnungkan bersama. :)

Benarkah waktu menyembuhkan luka?

Tiga bulan yang lalu, pembantu rumah tangga saya pulang ke kampung halamannya. Ayahnya meninggal dunia, kenyataan itu seperti sebuah tamparan yang keras untuknya, karena berita itu datang secara tiba-tiba.

Pada awalnya, agak sulit beradaptasi dengan suasana setelah Mbak Veny pulang. Biasanya, pada malam hari, tawanya yang cirikhas—keras dan lantang, selalu menjadi melodi tersendiri di rumah saya. Biasanya, saya akan bertukar pandang dengan adik perempuan saya, berbicara melalui sorot mata: astaga-kenapa-ketawanya-harus-gitu-banget.

Yang tentu terasa adalah saya harus mengerjakan beberapa pekerjaan rumah tangga. Jujur saja, saya merasa berat hati harus bangun lima belas menit lebih pagi dari biasanya, lalu melipat dan memasukkan baju ke dalam mesin cuci.

Pekerjaan rumah tangga yang paling saya tidak sukai adalah: mencuci piring. Itu alasan mengapa saya seringkali makan lebih awal atau lebih akhir dari keluarga saya. Alasannya simple saja, saya malas mencuci piring banyak-banyak.Bukan licik, tapi lihai. Hehe.

Namun ada beberapa waktu ketika saya harus makan bersama keluarga saya. Dan di saat-saat itulah saya akan bernegoisasi dengan adik saya, memintanya untuk mencuci piring. Sebagai imbalannya, saya mengambil jatahnya menjemur baju.

Seiring berjalannya waktu, yang mulanya saya malas sekali untuk menyapu dan mengepel kamar, membersihkan kamar mandi, mencuci piring, membersihkan sepatu, saya menjadi terbiasa melakukannya. Pekerjaan-pekerjaan rumah tangga itu sudah menjadi bagian tersendiri di hari-hari saya, sehingga ketika saya tidak melakukannya, ada yang terasa ‘kosong’.

Kalau dibilang apakah saya sudah jatuh cinta pada pekerjaan-pekerjaan itu, jawabannya tidak. Saya mengerjakannya karena itu merupakan keharusan. Mutlak. Saya tidak bisa menolak. Hal ini yang membuat saya perlahan-lahan terbiasa.

Belakangan, saya mulai menghubungkannya dengan luka. Benar kata John Green,that's the thing about pain; it demands to be felt. Luka itu harus dirasakan. Kita tidak bisa menolaknya.

Lalu, ada beberapa pertanyaan yang memasukki benak akhir-akhir ini. Berapa lama luka itu harus dirasakan? Apakah waktu pada akhirnya dapat menghilangkan luka?

Anggap saja pekerjaan rumah tangga yang biasa saya lakukan adalah sebuah luka.

Berapa lama pekerjaan rumah tangga (luka) itu harus dirasakan?

Entahlah. Sampai Mbak Veny kembali, mungkin?

Apakah waktu pada akhirnya dapat menghilangkan rasa malas (luka) saya ketika melakukan pekerjaan rumah tangga?

Kurasa, tidak. Saya sering mendapati diri saya sendiri masih mengeluh ketika mengerjakannya. Masih ada rasa malas. Namun saya melawan rasa tersebut. Dan lama kelamaan, saya terbiasa.

Waktu tidak menghilangkan rasa malas itu, waktu hanya membantu saya untuk berteman dengan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Pekerjaan-pekerjaan itu secara otomatis sudah menjadi bagian dari saya.

Dari sini saya dapat menarik satu kesimpulan. Waktu tidak menyembuhkan/menghilangkan luka. Mungkin bisa mengurangi, tetapi untuk menyembuhkan secara total, saya rasa tidak bisa. Luka itu akan selalu tetap menghiasi hati kita semua.

Menurut saya, waktu adalah sesuatu yang kita gunakan untuk berteman dengan luka. Waktu yang membuat kita terbiasa dengan luka itu. Sehingga ketika luka itu datang menyerbu, kau tidak akan sesakit ketika pertama kali merasakan luka. Karena kau sudah terbiasa dengan luka itu. Karena kau sudah menjadi satu dengan luka itu. Luka itu sudah menjadi bagian dari dirimu.

Soal berapa lama yang dibutuhkan untuk berteman dengan luka, saya yakin kita semua punya jawaban masing-masing. Kalau kau mau cepat berteman dengan luka, simple saja: akui dulu bahwa kau terluka. Terima kenyataan. Setelah itu, akan sangat mudah untuk berteman dengan luka.

Begitu pendapat saya. Bagaimana denganmu? Akan sangat menyenangkan ketika bisa mendengar pendapatmu di kolom komentar. Terimakasih! 

Saturday, December 19, 2015

Anu. Iya, Anu..

Libur kenaikan kelas telah tiba.

Waktu itu, entah kenapa lagi ngetrend-trendnya sunat. Entah gue yang menganggapnya trend, atau memang cowok memang harus disunat pada waktu-waktu itu.

Trend (setidaknya menurut gue) sunat itu diikuti oleh Darren--adek gue dan teman-temannya. Begitu juga dengan sepupu gue, Michael. Iya, ini Michael yang pernah gue ceritaiin beberapa waktu yang lalu.

Gue nggak akan membahas proses sunat atau gimana. Karena gue merasa bukan pakarnya untuk menjelaskan. Jadi, gue bercerita saja ya, seperti biasanya.

Setelah dua hari habis di sunat, adek gue dan sepupu gue memutuskan untuk main bareng. Entah untuk melupakan rasa sakit di anunya, atau memang benar-benar ingin melepas rindu dan bermain bersama.

Awal-awal, mereka bermain dengan seru melalui gadget masing-masing. Entah war apa yang sedang mereka jalankan, gue juga tidak mengerti. Tiba-tiba, ngga ada angin ngga ada topan, Darren ngejatuhin gadgetnya.

Gadget adek gue cukup besar dan tebal. Untuk nabok orang, gue jamin orangnya minimal pingsan sambil menjulurkan lidah. Eh gakdeng. Ya pokoknya gitulah.

Tebak gadgetnya jatuh dimana?

Diatas anunya Michael.

Aw. Gue yakin itu sakit. Banget.

Ada jeda sejenak ketika kejadian itu terjadi, seolah dunia berhenti berputar, ikut menyaksikan kejadian tragis itu.

Lalu, Michael menjerit, "KOKO DARREN! SAKIT TAUUUU!"

Setelah itu, mereka menghapus contact BBM satu sama lain, me-remove friends di facebook, dan memblokir instagram masing-masing.

Dan disinilah gue dan Vivi--adek perempuan gue berada. Menahan tawa sekuat mungkin, hingga kedua pipi bersemu merah.

Lesson to learn : terkadang, tertawa di atas penderitaan orang lain itu menyenangkan, loh. HAHAHHHA gakdeng, bercanda. 

Menunggu Saja itu Tidak Cukup

Saya suka dan akan selalu suka dengan bau rumah sakit. Entah kenapa, ada bau yang cirikhas dari sana, yang menembus indra penciuman, dan membuat saya.. tenang.

Siang ini, saya mengantar adik perempuan saya ke rumah sakit. Vivi harus memeriksakkan telinganya yang sempat ada masalah. Ceritanya bisa dibaca di bawah.

Sedikit informasi, saya senang memperhatikan sekitar. Dari raut wajah, apa yang orang kenakan, cara orang berbicara, bahkan agak menguping ketika ada dua orang atau lebih yang terlibat perbincangan seru.

Kali ini, saya memperhatikan raut wajah para pasien. Kebanyakan dari mereka memasang ekspresi datar. Sorot matanya kosong. Tidak ada senyuman yang tersungging di wajah mereka.

Saya sempat bingung mengapa ekspresi mereka se-suram itu. Lantas saya tersadar, mereka sedang menunggu. Dan menunggu memang tidak pernah menjadi aktivitas yang menyenangkan. Saya tau betul itu.

Menurut saya, rumah sakit adalah tempat dimana kesabaran sebenarnya diuji. Gimana nggak? Menunggu nomor antrian yang panjang, tanpa mengetahui kau sebenarnya akan masuk ke ruangan dokter pukul berapa. Menanti dengan sabar sambil menahan kantuk, ingin mengeluh namun kau sadar keluhanmu tidak akan membuat semuanya lebih baik.

Kesabaran. Menunggu. Siapa diantara kita yang menyukai keduanya? Kalau ada, saya salut.

"Bapak Arnold," panggil salah satu suster, lalu berdiri dari kursinya, kedua matanya mencari-cari sang pemilik nama.

Saya melihat seorang pria mengenakan kemeja berwarna hitam yang duduk tidak jauh dari saya berdiri.

Suster berkata, "maaf pak, dokter lagi operasi di rumah sakit lain. Ini juga saya baru tau, pantes aja daritadi nggak bisa dihubungin.."

Ketika kau sudah menunggu untuk waktu yang lama, berharap yang terbaik akan terjadi, tetapi dunia seolah-olah tidak menyetujuinya, lalu dengan mudahnya menghancurkan segala harapanmu. Pernahkah kau merasakan itu?

Itu yang saya tangkap dari raut wajah pria berusia sekitar tiga puluhan itu. Beliau bertanya, "selesainya jam berapa ya?"

"Wah nggak tau saya, Pak. Bisa langsung ke rumah sakit disana aja."

Sudah tidak pasti, disuru kembali menunggu. Benar kan, kata saya? Rumah sakit adalah tempat dimana kesabaran diuji.

Pria itu menganggukkan kepala dan tersenyum singkat, lalu pergi dari ruang tunggu. Langkahnya cepat dan tegas, tetapi saya sempat mendengar dengusan kesalnya.

Saya rasa, menunggu memang se-menyebalkan itu. Apalagi ketika kau tidak melakukan apa-apa. Hanya bisa menunggu. Dan ini, yang menurut saya salah.

Terkadang, menunggu saja itu tidak cukup. Kau perlu melakukan sesuatu.

Kau ingin cita-citamu terwujud? Tidak cukup hanya menunggu. Memangnya, kau kira hidup ini dongeng? Dongeng dimana kita hanya cukup menunggu bintang jatuh, dan mengirimkan permohonan, lalu semua akan terjadi sesuai yang kita minta?

Kalau kau ingin cita-citamu terwujud, lakukan sesuatu sembari kau menunggu. Latih bakatmu terus menerus, hasilkan karya sebanyak mungkin, dobrak segala pintu menuju mimpimu.

Kau ingin gebetanmu mengajakmu berbicara? Hei, menunggu saja tidak cukup. Kau perlu melakukan usaha. Gengsi untuk berbicara duluan boleh, tapi jangan gengsi melempar umpan. Cari sesuatu yang bisa membuat gebetanmu tertarik padamu. Jangan berdiam diri saja lalu menunggu keajaiban terjadi.

Kau ingin berbaikkan dengan sahabatmu? Jangan diam saja, kawan. Tidak cukup kau hanya berharap di dalam hati semua akan baik-baik saja. Kau perlu menyelesaikannya, sekarang. Bagaimana caranya? Temui orangnya. Ajak dia bicara. Jangan menyerah karena sebuah tolakan, terus kejar hingga masalahmu selesai. Kalau dia butuh waktu, beri dia waktu. Sembari menunggu, terus intropeksi dirimu, apa salahmu dan bagaimana memperbaikinya.

Kau sedang menunggu keajaiban terjadi? Ah, tolong. Kita sama-sama tau bahwa tidak ada yang namanya keajaiban di dunia ini. Kita sama-sama tau itu hanya omong kosong belaka. Hanya orang-orang naif yang mempercayainya.

Lantas, bagaimana kalau orang-orang yang berada di rumah sakit? Bukankah mereka hanya bisa menunggu?

Hei, coba lihat sekelilingmu. Mereka juga menunggu, sama halnya sepertimu. Kenapa tidak mau mencoba untuk membuka pembicaraan? Siapa tau kalian bisa saling menguatkan dengan berbagi dan bertukar cerita?

Daripada duduk dengan ekspresi datar dan sorot mata yang kosong, lama-lama, itu akan membuat pikiranmu kacau. Cobalah untuk membuka pembicaraan. Bagaimanapun juga, pikiran juga butuh diistirahatkan.

Percayalah, ada, dan akan selalu ada hal yang bisa dikerjakan. Karena sekali lagi, terkadang, menunggu saja itu tidak cukup. Kau perlu melakukan sesuatu.

Pertanyaannya adalah, maukah kamu melakukan 'sesuatu' itu?

Antara Cinta dan Bisul

Sore itu gue dan adik gue baru saja selesai berenang. Lalu, dia tiba-tiba ngomel, "ce telingaku kok sakit ya. Ah aku ngga mau renang lagi deh."

Padahal, sebelum-sebelumnya, ia sudah berjanji pada alam semesta dan pada dirinya sendiri bahwa ia akan rutin olahraga berenang.

Awalnya gue tidak terlalu menanggapi keluhannya. Namun, hari demi hari berlalu, gue menyadari ada yang salah dengan indra pendengarannya. Dia jadi tidak peka ketika gue memanggilnya satu-dua kali, seringkali, gue harus berteriak sampai dia bisa bener-bener denger panggilan gue.

Dia juga jadi lebih sering mengeluh karna rasa sakit di telinganya. Biasanya, ia akan berkata, "duh ce kok telingaku kayak kemasukan air ya."

Tidak hanya itu, pertanyaan dan pernyataan lainnya mulai menyusul. Kebanyakan ia akan mengeluh karena tidak dapat mendengar suara sekitar, tapi bisa mendengar dengan jelas suara yang berada di dalam tubuhnya. Seperti, 
"Eh, ce, kamu kalo lagi minum air bisa denger suara air masuk ke badan kamu sendiri gitu ga sih?" 
"Aku lo ce kalo lagi ngunyah makanan kedengeran banget di telinga." 
"Suaraku kecil banget ga sih ce? Kok aku ga denger suaraku sendiri ya." *padahal kenceng banget suaranya*
"Ce kamu bisa denger aku nelen air ta?"


Beberapa hari kemudian, kedua orang tua gue memutuskan untuk membawa adek gue ke rumah sakit. Lalu, dia pulang membawa berita yang cukup mengejutkan.

Di telinganya ada bisul.

Gue nggak tau harus bereaksi seperti apa. Entah harus memasang wajah prihatin, atau menertawainya habis-habisan. Jangan menyebut gue kakak durhaka, tapi, siapa sih yang nggak ketawa kalau bisulnya ada di telinga?

Bisul, man.

Bisul,

Bisul.

Bisul?

Bisul!


HAHAHAHHA bisa gila gue. Tapi, bisul.

Oke lanjut cerita.

Sepulang dari dokter THT, tingkat kebudekannya semakin menjadi-jadi. Ini karena dia harus meneteskan semacam obat cairan ke dalam telinganya, gunanya untuk melunakkan kotoran dan bisul di telinganya. Cairan itu membuat telinganya terasa penuh, dan akibatnya dia kurang bisa mendengarkan dengan baik.

Pernah ada suatu kali ketika ia sedang memakai cairan tersebut, lalu nyokap gue dari dapur teriak manggil dia. Untuk telinga ukuran normal, seperti gue misalnya, gue dapat mendengarnya dengan jelas. Kelewat jelas malah, karna nyokap teriaknya lumayan kenceng. Tapi, adek gue tercinta malah nggak denger apa-apa.

Gue tanya, "kamu nggak denger mama manggil?"

Dia langsung histeris. "Hah? Mama manggil? Ohya???" Lalu, dia keluar kamar dan berteriak, "APAA MAAA?"

"Harus banget ya teriak kayak gitu?" Tanya gue.

"Apa ce?"

Gue menahan napas. "Ngga apa-apa, deh."

"Hah??"

Gue bertanya dengan agak membesarkan suara, "Kemarin kenapa ngga langsung dibersihin aja sih sama dokternya?"

"Soalnya sakit."

Gue pernah pergi ke THT beberapa tahun lalu, tapi bukan gara-gara ada bisul. Cuman sekedar pengen bersihin telinga aja. Dan seinget gue, nggak ada rasa sakit sama sekali ketika dibersihkan. Maka gue berkata, "Kapanan aku bersihin telinga ngga sakit, tuh."

"Apa ce?"

YA-TUHANKU-YANG-MAHA-ESA. Gue berkata sekali lagi, "dulu waktu telingaku di bersihin ngga sakit, tuh."

"YA SOALNYA KAN GARA GARA KAMU GAADA BISULNYA!"

Lah? Kok malah ngegas dia? Tapi, jawabannya masuk akal.

Setelah kejadian itu, gue sering mendapati dia menyumpel tissue di kedua telinganya, gue juga nggak tau kenapa. Pernah satu kali, waktu itu gue habis mandi. Gue masuk kamar, dan mendapati adek gue duduk membelakangi gue, dengan kedua tissue yang tersumpal di telinganya.

Gue sempat terkejut. Namun beberapa saat kemudian gue bersyukur. Bersyukur karena masih untung tissuenya di telinga. Kalau di hidung, mungkin gue sudah mengira dia pocong. Atau mayat hidup.

Dua hari kemudian, dia kembali ke rumah sakit untuk control. Kali ini, gue ikut bersamanya. Gue disana untuk melihat bagaimana dia menggigit bibir ketika dokter mulai memasukkan bor (gue nggak tau apa nama alatnya, jadi katakan saja bor). Gue juga melihat ekspresi senangnya ketika kedua telinganya sudah selesai dibersihkan. Gue menjadi saksi hidup pemulihan adek gue hari itu, sodara-sodara!

Seingat gue, dulu waktu habis dibersihkan telinganya, pendengaran gue berubah jadi sama sekali jernih. Gue bahkan bisa mendengar Justin Bieber sedang berbicara dengan assistennya di Canada. Eh gakdeng. Nggak segitunya. Pokoknya, telinga gue jadi super peka.

"Wah! Aku udah bisa denger!" Seru Vivi pada dokter.

Gue bertanya, "gimana? Bisa denger semuanya?"

"Bisa!"

"Bisa sampe denger suara mesin mobil di parkiran, ngga?"

"Ya nggak lah!"

Gue tertawa.

Vivi bertanya pada dokter, "lho dok, jadi, ini udah nggak ada bisul di telingaku?"

Dokter tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Udah bersih. Total."

"Wah obat kemarin manjur ya. Padahal cuman dua hari pake nya."

Sang dokter hanya tersenyum.

Ah, andai sakit hati juga semudah itu menyembuhkannya. Hanya perlu meminum/memakai obat, pergi ke dokter untuk melakukan control, lalu sakit itu akan lenyap seketika.

Mungkin dengan begitu, sakit hati tidak akan menjadi sakit yang paling berbahaya. Tidak akan ada yang namanya bunuh diri karena putus cinta, stress karena ditinggalkan kekasih, galau hingga jatuh sakit karena diselingkuhi.

Karena pada akhirnya, penyakit yang paling mengerikan dan berbahaya bukan penyakit yang melibatkan berbagai macam obat-obatan. Bukan juga yang melibatkan operasi dalam penyembuhannya.

Tetapi, penyakit yang paling mengerikan sekaligus membahayakan adalah ketika melibatkan emosi dalam penyembuhannya.

Obat paling manjur untuk menetralkan emosi? Semua orang punya jawabannya masing-masing. Lo dan gue bisa mempunyai jawaban yang sama, ataupun berbeda.

Kalau obat gue, ya orang-orang yang berada di terdekat gue. Gimana dengan lo?

Ini kenapa gue jadi baper begini ya..

Sebagai penutup, siang itu gue berada di kamar mandi umum Tunjungan Plaza bersama adek gue. Tiba-tiba, setelah mengeluarkan cairan, adek gue bertanya,

"Ce, tadi kamu denger suara pipisku ngga, sih?"

Gue terdiam. Sudah malas menanggapi.

Saturday, May 2, 2015

Pentingnya Berterimakasih

Malam itu, saya sedang dalam perjalanan pulang—baru saja selesai mengikuti kursus Matematika—ketika sesuatu mengusik pikiran saya.  Tidak, bukan pelajaran Matematika yang mengusik pikiran saya. Namun, seulas senyum guru saya.

Seulas senyumnya yang diberikannya, tepat setelah saya berkata terima kasih pada beliau. Ada ekspresi terkejut bercampur dengan  bingung yang tersirat dari wajahnya, seolah kata “Terima Kasih” dari seorang murid baru pertama kali ia dengar.

Keesokan harinya, saya mulai mengamati sekitar. Begini hasil pengamatan saya: saya tidak mendapati seorang pun yang mengatakan terima kasih setelah jam kursus berakhir. Kebanyakan dari mereka hanya mengatakan “Pulang, kak,” lalu, berjalan keluar menuju pintu begitu saja, tanpa mengatakan terima kasih. Seolah-olah pelajaran yang barusan mereka dapatkan berasal dari angin, bukan dari seorang guru. 

Kenyataan ini membuat saya mengerti, mengapa ekspresi guru saya begitu terkejut ketika mendengar kata “Terima Kasih” dari mulut saya. Ini karena, guru saya belum pernah mendengar  dua kata itu dari mulut murid-murid lain. Dan kalau boleh saya tebak, beliau senang ketika mendengar kata “Terima Kasih” terlontar dari mulut saya, mengingat seulas senyum lebarnya yang diberikan kepada saya malam itu.

Sejak saat itu, saya mulai membiasakan diri dan orang-orang yang berada di dekat saya untuk mengatakan terima kasih. Sekecil atau sebesar apapun pertolongan yang diberikan seseorang kepada saya, haruslah dibalas dengan kata terima kasih, begitu prinsip saya.

“Terima Kasih”

Dua kata, namun mempunyai banyak makna.

Dua kata yang sederhana, namun memiliki kuasa.

Dalam hal sekecil apapun, kata "Terima Kasih" sangatlah penting.

Sebagian orang mungkin merasa terlalu malu untuk mengucapkan kata terimakasih. Entah karena takut merasa canggung, atau gengsi untuk mengatakannya. Ini yang harus dihentikan dan diubah. Jangan pernah menunda-nunda untuk mengatakan “Terima Kasih”. Mungkin kebaikan dan kesempatan bisa datang dua kali, namun kebaikan dan kesempatan tidak akan pernah datang untuk kedua kalinya dengan rasa yang sama.

Sebenarnya, berterimakasih adalah sesuatu yang berupa insiatif masing-masing. Tidak perlu diajari atau diberitau, karena dua kata tersebut benar-benar berasal dari hati. Namun mengingat manusia butuh dididik terlebih dahulu agar dapat berjalan di jalan yang benar, membiasakan diri dan sekitar untuk berkata “Terima Kasih” adalah sesuatu yang harus dilakukan.

Mulai dari yang sederhana saja. Mengucapkan terimakasih kepada penjaga lift di mall, cleaning service di toilet, atau pada seorang kasir supermarket. Mungkin anda berpikir, buat apa kita berterima kasih pada mereka? Bukankah itu sudah tugas dan kewajiban mereka untuk melakukannya? Mengapa kita harus berterimakasih, sedangkan kita juga membayar mereka? Bukankah sudah setimpal, mereka mendapatkan uang, dan kita mendapatkan bantuannya?

Ingat, tidak semua bisa dibeli dengan uang. Ya, mereka memang ‘bekerja’ untuk kita. Kita membayar ‘pekerjaan’ mereka. Namun terkadang uang bukanlah yang utama. Mereka juga manusia, mereka menghirup udara yang sama dengan kita, dan mereka juga butuh dihargai. Dengan mengatakan terima kasih, sebenarnya itu juga merupakan bentuk kita menghargai mereka. Menghargai pekerjaan dan bantuan yang mereka lakukan untuk kita.

Berterimakasih itu sendiri bisa dilakukan dengan banyak cara. Kalau melihat anak kecil, mereka berterimakasih karena disuruh. Beranjak remaja, mereka melakukannya cenderung karena ikut-ikut teman. Ada yang mengatakannya karena memang tulus, ada yang mengatakan karena merupakan kebiasaan sendiri, namun ada juga yang tidak mengatakan sama sekali, sakin cueknya.
Lantas, bagaimana seharusnya kita berterimakasih?

Jawabannya sederhana, berterimakasihlah ketika kamu merasa terbantu. Berterimakasihlah dari hati. Biarkan kata “Terima Kasih” itu terlontar dengan sendirinya, bukan karena kebiasaan, atau karena ikut-ikut teman.

Kita semua perlu bahkan harus menanamkan sikap berterimakasih sejak dini. Mengapa? Agar ucapan terima kasih yang keluar dari mulut kita bukan hanya sekedar ucapan kata-kata tanpa makna, atau meniru-niru saja, tetapi sebuah nilai hidup.

Ini alasan mengapa ucapan terima kasih sangat dahsyat maknanya. Dua kata tersebut mampu menembus hati seseorang. Manusia hidup itu butuh penghargaan atas diri mereka. Dan dengan mendengar kata “Terima Kasih”, menjadikan seseorang merasa dihargai.


“Rasa terimakasih adalah sebuah bentuk ketulusan di dalam diri seseorang. Semakin seseorang pandai mengucapkan rasa terimakasih, semakin banyak kebaikan yang akan di dapatkannya. Semoga kita termasuk dari orang-orang yang pandai berterimakasih terhadap sesama.”

Thursday, January 22, 2015

Hati Terangbulan

Baru saja pulang dari dokter gigi. Saya memang harus rutin sebulan sekali ke dokter, mengingat saya sedang memakai kawat gigi. Sepulang dari sana, gigi saya mulai merasakan cenat cenut yang luar biasa. Kepala saya yang ikut dibawa imbasnya mendadak terasa begitu berat, ingin rasanya menutup mata sejenak, mengistirahatkan seluruh tubuh. Namun, saya tidak bisa melakukan itu. Ada beberapa tugas dan pekerjaan yang harus saya lakukan, membuat saya mau tidak mau, suka tidak suka, harus melawan rasa sakit yang menyerbu gigi dan kepala saya. 

Ketika saya memasuki ruang makan, kedua mata saya terkunci pada sebuah kotak makanan. Isi dari kotak tersebut sempat membuat saya menelan ludah, hati saya menimbang-nimbang untuk menyantapnya atau meninggalkan makanan itu di meja, tanpa disentuh. Terangbulan. Tidak susah untuk memutuskan. Saya memilih untuk menyantap terang bulan tersebut, persetan dengan diet, persetan dengan berat badan, yang saya pedulikan hanyalah kelezatan terangbulan coklat keju tersebut. 

Kedua gigi bagian depan saya baru saja mengigit ujung terang bulan, ketika pada saat yang bersamaan saya mengeluarkannya dari mulut. Gigi saya terasa begitu ngilu, untuk mengigit makanan empuk seperti terang bulan saja tidak bisa. 

Namun, rasa sakit itu tidak membuat saya mengembalikkan terang bulan lezat itu begitu saja. Saya memotong dengan garpu terang bulan tersebut ke dalam beberapa bagian, lalu menyantapnya dengan lahap. Saat mengunyah, rasa sakit itu tetap menyerbu, namun saya berusaha "membayar" rasa sakit itu dengan kenikmatan terang bulan. 

Kejadian ini seperti memberi sebuah jawaban kepada saya. Jawaban dari pertanyaan yang selalu saya tanyakan pada diri sendiri, hingga hari ini, saya berhasil menjawabnya sendiri. Saya pernah bertanya-tanya di dalam hati, "kenapa orang-orang di dunia ini tetap bertahan pada seseorang yang tidak pantas dipertahankan? kenapa orang-orang di dunia ini tetap memberi kesempatan kedua pada orang yang tidak pantas mendapatkan kesempatan itu?" 

Sama seperti terangbulan.

“Kenapa saya tetap menyantap terang bulan tersebut hingga habis, padahal, gigi saya ngilu setengah mati?”

Alasannya simple. Karena, terang bulan telah berhasil merebut hati saya. 

Saya sudah terlanjur jatuh cinta pada kenikmatan rasa terang bulan tersebut.

Sakit memang, tapi ini masalah hati. 

Tidak ada yang bisa mengaturnya.

Perasaan itu tumbuh dengan sendirinya, dan perlahan-lahan mengubahmu tanpa kau sadari.

Friday, January 9, 2015

Air Asia QZ 8501

Wow.

Kata itu yang menggambarkan perasaan saya. Bahkan, kalau ada kata yang lebih wow dari ‘wow’, sepertinya, saya membutuhkan kata itu sekarang.

Pagi itu, saya dikejutkan dengan berita tentang hilang kontaknya pesawat Air Asia QZ 8501 Surabaya - Singapura. Seharusnya kalau saya jadi berlibur ke Singapura, pesawat itulah yang saya dan keluarga akan tumpangi. Berita itu sempat membuat saya tercenung, bingung mau bereaksi seperti apa. Separuh dari diri saya menolak untuk menerima berita itu, namun separuhnya lagi memaksa saya untuk mempercayainya.

Seolah rasa terkejut yang saya rasakan belum cukup, saya kembali dikejutkan dengan berita bahwa di dalam pesawat tersebut ada kedua orang tua dan adik dari teman saya. Bulu kuduk saya seketika meremang, pikiran saya melayang kesana kemari. Rasa khawatir mulai menyerbu hati saya. Jari-jari saya otomatis mencari nama teman saya di kontak LINE, ingin mengirimkan sebuah pesan semangat kepadanya, namun tak satu katapun terketik di layar. Sistem otak saya seperti terhenti, tak mampu merangkai kata-kata bahkan untuk menulis satu huruf saja.

Hidup tanpa keluarga? Saya tidak pernah membayangkan itu. Bayangan seperti itu tidak pernah sekalipun menembus pikiran saya, sampai pada hari itu, saya sadar bahwa orang-orang di sekitar saya sekarang, tidak bisa selamanya mendampingi saya. Keluarg bisa pergi kapan saja.

Sebagai salah satu warga Surabaya, saya ikut merasakan kesedihan yang dirasakan keluarga para penumpang pesawat Airbus 320 tersebut. Entah mengapa, saya yang semula sama sekali tidak suka membaca berita, menjadi orang yang sering sekali me-refresh laman detik.com di HP saya. Saya seperti tidak ingin ketinggalan secuil informasi apapun itu.

Menonton berita juga merupakan kegiatan yang sangat saya hindari. Namun, sekali lagi, entah mengapa, saya mendapati diri saya duduk ruang tamu, menonton acara berita, dan menyimak segala informasi terbaru yang tidak ingin saya lewatkan. Tindakan yang sebenarnya susah untuk dipercaya, mengingat saya bukanlah type orang yang suka mendengarkan, menonton, atau membaca berita.

Tetapi, kembali lagi, ini bukan mengenai suka atau tidak suka. Ini mengenai rasa peduli terhadap sesama.

Melihat tayangan yang berada di televisi, saya sempat tak bisa menahan air mata. Bagaimana raut wajah keluarga penumpang memandangi daftar nama, berharap tidak menemukan nama orang yang ia kenali, namun kenyataan mengatakan sebaliknya. Melihat bagaimana mereka mengeluarkan air mata yang tak kunjung berhenti, ada rasa tidak percaya yang tersirat dari wajah mereka. Melihat bagaimana berdoa bersama untuk keselamatan keluarga mereka, menginginkan yang terbaik untuk keluarganya.

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jika saya berada di posisi mereka. Apakah saya akan tetap kuat? Saya rasa tidak. Namun, melihat bagaimana para keluarga penumpang baik di Bandara Juanda ataupun yang berkicau melalui social media, membuat saya tau akan satu hal: mereka percaya akan namanya pengharapan. Mereka percaya. Mereka percaya seluruh penumang dapat ditemukan dengan selamat. Mereka percaya itu. Begitu juga dengan saya. Mungkin mustahil untuk manusia, namun, kita punya Tuhan kita tidak mengenal kata mustahil, bukan?  

Pengharapan itu mulai tumbuh di dasar hati saya. Saya terus-terusan memanjatkan doa agar pesawat cepat ditemukan dengan seluruh penumpangnya.

26 jam terlewati, namun pesawat belum terdengar kabarnya. Harapan mengenai keadaan para penumpang yang semula menyala-nyala, perlahan mulai memudar. Perlahan-lahan harapan itu sirna, memang tidak seutuhnya, tetapi sebagian harapan itu hilang. 

Adik saya yang berusia sepuluh tahun, memiliki teman yang cukup akrab di dalam pesawat itu. Ia berkata kepada mama saya, “aduh, ma, Niko gimana ya di laut. Udah malem gini. Pasti dingin.”

Kalimatnya berhasil membuat mata saya berkaca-kaca. Dia juga merasakan kekhawatiran yang sama dengan saya. Dia, yang merupakan bocah berusia sepuluh tahun, ikut merasakan kehilangan. Dia mengerti. Kedua matanya yang berkaca-kaca menjelaskan semuanya.

Sekali lagi, dia mengerti.

Secercah harapan itu kembali tumbuh ketika berita ditemukannya serpihan pesawat di Selat Karimata. Ketika mendengar berita itu, saya langsung meloncat dari tempat tidur, buru-buru menyalakan TV untuk mendengarkan berita terbaru.

Sesekali, kedua mata saya berpindah ke handphone, memeriksa social media yang semakin ramai. Kisah-kisah dibalik kehidupan para penumpang yang sempat membuat tubuh saya lemas ketika membacanya, sempat berharap semua ini hanyalah mimpi buruk.

Ketika berita mengenai ditemukannya tiga jenazah, saya melihat bagaimana keluarga penumpang semakin menangis. Ingin rasanya memeluk mereka, mengatakan bahwa semua pasti akan baik-baik saja, memang bukan sekarang, namun, suatu saat nanti, semua pasti akan baik-baik saja. Ingin rasanya memberi kata-kata semangat untuk membangkitkan semangat mereka. Ingin rasanya menjadi orang yang berada di samping mereka, menguatkan mereka.

Namun, saya hanya bisa berada di sini, membantu doa.

Pengharapan yang sejak awal saya tanamkan di hati saya masih menyala. Masih ada sebagian dari diri saya yang berharap para penumpang dapat ditemukan dengan kondisi baik-baik saja. Harapan itu belum mati.

Satu yang saya percaya, kalau Tuhan menghendaki dan mengijinkan semua ini terjadi, saya percaya, DIA tidak lupa untuk memberikan jalan keluarnya. Untuk orang-orang yang ditinggal, jangan putus asa. Jangan berlarut dalam kesedihan, karena percayalah, semua akan baik-baik saja. Manusia tinggal dan pergi, kau harus menerima itu.

Untung kamu, yang ditinggalkan kedua orang tuamu, jangan putus asa. Kembalilah belajar dengan giat, buktikkan kepada orangtuamu bahwa kamu bisa. Buat mereka bangga. Biarkan kedua orang tuamu tersenyum diatas sana karena memiliki buah hati sepertimu.

Untuk kamu, yang ditinggalkan kekasihmu, jangan bersedih. Dia sedang tersenyum diatas sana, karena sekarang, dia dapat menjagamu selama 24 jam. Percayalah, dia tidak kemana-mana. Dia berada di sekelilingmu.

Untuk kamu, yang ditinggalkan sahabatmu, tersenyumlah. Sahabatmu sedang tersenyum melihatmu sekarang. Dia bangga mempunyaimu. Mungkin kau tidak bisa bertemu dengannya kembali, namun, kau dan dia sudah menjadi satu. Ya, menjadi satu. Menjadi satu atas nama persahabatan.

Mereka tidak ‘mati’. Mereka hanya terbang lebih tinggi. :) 

“Mom, why do the best people die early?”
“When you’re in a garden, which flowers do you pick?”
“The most beautiful ones.”

Wednesday, January 7, 2015

Cerpen "Baik vs Tulus"

Dibuat tanggal: 2 February 2015.
Karya: Felicia Sutanto

Ninditha’s POV

“Ma, jadi orang setia itu nggak enak ya?”

Pertanyaan itu berasal dari mulutku. Sebenarnya, aku tidak yakin apa alasan aku bertanya seperti itu. Yang kutau, pertanyaan itu terlontar begitu saja, seolah memang mewakili hati kecilku. Haha, hati. Aku bahkan tidak yakin apakah aku masih mempunyai hati. Apa lagi, setelah dikecewakan berulang kali oleh orang-orang yang….

Sudahlah.   

Mama menoleh ke arahku, lalu menaruh kertas-kertas yang entah apa isinya diatas meja. Dia melepas kacamata, membuatku dapat melihat lingkar hitam yang menggantung di bawah matanya dengan jelas. “Kenapa tiba-tiba tanya begitu?” tanyanya.

Aku menyandarkan punggung ke sandaran kursi, mendesah pelan. “Ya, tanya aja.”

Mama kembali berkutat dengan setumpuk kertas yang berada di mejanya. Aku kembali mendesah, mama memang selalu sibuk. “Waktu dulu kamu memilih untuk setia sama dia, apa alasannya?” tanyanya tiba-tiba, membuatku terdiam sejenak.

Aku menatap kedua mata mama, sebelum akhirnya menjawab, “kenapa ya? Ya, karena udah sayang, Ma.”

“Yakin sayang?” tanyanya sekali lagi. Dari nada bicaranya, mama seperti ingin memastikan sesuatu.

“Yakin lah, ma,” jawabku dengan mantap.

“Kalau kamu beneran sayang sama dia, berarti kamu tulus sayang sama dia. Dan kalau kamu tulus sayang sama dia, kamu nggak akan nanya pertanyaan seperti tadi.” Mama kembali mengenakan kacamatanya, lalu menuliskan sesuatu di atas kertas.

Aku menelan ludah. Kedua mataku masih terpaku pada meja kerja mama, kalimat mama barusan terputar kembali di  benakku, membuatku otakku secara otomatis mencerna setiap kata yang dilontarkan beliau.

“Bukannya nggak tulus.”

“Lalu?”

“Penasaran aja, ma,” kataku. “Kenapa ya, kebanyakan orang tulus malah ujung-ujungnya tersakiti? Apa jangan-jangan, orang tulus memang ditakdirkan untuk disakiti?”

Mama menghentikan segala aktivitasnya, lalu menatapku lurus-lurus. Dari tatapan matanya, aku dapat membaca tatapannya yang seolah-olah sedang mencari sebuah petunjuk dari wajahku. “Anak mama satu ini lagi galau, ya?”

Aku bergidik geli. Galau? Yang benar saja. Galau. Kata satu itu hanya berada di kamus-kamus orang yang mudah putus asa. Dan aku, bukan orang seperti itu. Satu kata itu tidak pernah dan tidak akan pernah ada di kamus kehidupanku.

“Nggak lah,” bantahku. “Ngapain galau, ma.”

Mama tertawa, membuatku kebingungan sendiri apa alasannya tertawa seperti itu. Jujur saja, aku merasa diremehkan. Aku tidak pernah suka diremehkan, asal kau tau. “Apaan sih ma, aku nggak galau.”

“Ninditha,” panggil mama. “Dengerin mama.”

Aku duduk lebih tegap.

“Ada banyak sekali hal di dunia ini yang nggak sejalan dengan harapan kita. Kadang kita minta kebahagiaan, eh tapi malah dikasih sebaliknya. Kadang kita minta teman, eh malah dikasih musuh. Ya, begitulah hidup. Kita tidak akan pernah bisa mengaturnya.”

Mama melipat kedua tangannya diatas meja. Ia memandang lurus ke depan, seperti memikirkan sesuatu, lalu tersenyum kecil. Sesaat kemudian, kedua matanya beralih ke arahku. “Sama kayak hati. Kita nggak bisa mengaturnya. Kita nggak bisa memaksa hati buat berhenti atau memulai mencintai seseorang. Kita juga nggak bisa mengatur hati untuk tulus dan setia sama orang. Hati. Dan Hidup. Itu berputar dengan sendirinya. Kita nggak pernah bisa mengaturnya, Nindi.”

Aku berusaha mencerna kata demi kata mama satu per satu, mencoba untuk mengerti kemana arah pembicaraan mama.

Mama menyibakkan poninya, sebelum akhirnya kembali berkata, “dan kalau kamu tanya, kenapa orang-orang tulus sering disakiti, jawabannya gampang aja.”

Aku mempertajam indra pendengaranku, tidak ingin melewatkan kalimat mama sehabis ini. “Apa, ma? Karena orang-orang tulus nggak pantas mendapatkan sesuatu yang indah?”

Mama menggelengkan kepalanya pelan. “Untuk jadi tulus, butuh pelajaran. Dan kalau orang tulus disakiti, itu artinya, dia sedang diberi pelajaran.”

Pelajaran.

Aku baru saja mau bertanya ketika mama lebih cepat memotongku. “Asal kamu tau, orang baik sama orang tulus itu berbeda. Orang baik belum tentu tulus. Kalau orang tulus, sudah pasti baik.”

Kedua alisku mengernyit. Beberapa saat kemudian aku mengiyakan kalimat mama, menyetujui kalimatnya barusan.

Mama tersenyum hangat. “Biarkan saja. Suatu saat ketika dia sudah menemukan penggantimu yang lebih ‘baik’, dia akan mengerti. Kalau yang tulus seperti kamu, tidak akan pernah bisa digantikan oleh orang yang hanya sekedar ‘baik’.”

Terjawab sudah. Aku memberinya seulas senyum lebar, “terima kasih, Ma.”

Mama kembali tersenyum, lalu kembali larut dalam pekerjaannya.

The end, Ninditha.