Wow.
Kata itu yang
menggambarkan perasaan saya. Bahkan, kalau ada kata yang lebih wow dari ‘wow’,
sepertinya, saya membutuhkan kata itu sekarang.
Pagi itu, saya
dikejutkan dengan berita tentang hilang kontaknya pesawat Air Asia QZ 8501
Surabaya - Singapura. Seharusnya kalau saya jadi berlibur ke Singapura, pesawat
itulah yang saya dan keluarga akan tumpangi. Berita itu sempat membuat saya
tercenung, bingung mau bereaksi seperti apa. Separuh dari diri saya menolak
untuk menerima berita itu, namun separuhnya lagi memaksa saya untuk
mempercayainya.
Seolah rasa
terkejut yang saya rasakan belum cukup, saya kembali dikejutkan dengan berita
bahwa di dalam pesawat tersebut ada kedua orang tua dan adik dari teman saya. Bulu
kuduk saya seketika meremang, pikiran saya melayang kesana kemari. Rasa
khawatir mulai menyerbu hati saya. Jari-jari saya otomatis mencari nama teman
saya di kontak LINE, ingin mengirimkan sebuah pesan semangat kepadanya, namun
tak satu katapun terketik di layar. Sistem otak saya seperti terhenti, tak
mampu merangkai kata-kata bahkan untuk menulis satu huruf saja.
Hidup tanpa
keluarga? Saya tidak pernah membayangkan itu. Bayangan seperti itu tidak pernah
sekalipun menembus pikiran saya, sampai pada hari itu, saya sadar bahwa orang-orang
di sekitar saya sekarang, tidak bisa selamanya mendampingi saya. Keluarg bisa
pergi kapan saja.
Sebagai salah
satu warga Surabaya, saya ikut merasakan kesedihan yang dirasakan keluarga para
penumpang pesawat Airbus 320 tersebut. Entah mengapa, saya yang semula sama
sekali tidak suka membaca berita, menjadi orang yang sering sekali me-refresh laman detik.com di HP saya. Saya
seperti tidak ingin ketinggalan secuil informasi apapun itu.
Menonton berita
juga merupakan kegiatan yang sangat saya hindari. Namun, sekali lagi, entah
mengapa, saya mendapati diri saya duduk ruang tamu, menonton acara berita, dan
menyimak segala informasi terbaru yang tidak ingin saya lewatkan. Tindakan yang
sebenarnya susah untuk dipercaya, mengingat saya bukanlah type orang yang suka
mendengarkan, menonton, atau membaca berita.
Tetapi, kembali
lagi, ini bukan mengenai suka atau tidak suka. Ini mengenai rasa peduli
terhadap sesama.
Melihat tayangan
yang berada di televisi, saya sempat tak bisa menahan air mata. Bagaimana raut
wajah keluarga penumpang memandangi daftar nama, berharap tidak menemukan nama
orang yang ia kenali, namun kenyataan mengatakan sebaliknya. Melihat bagaimana
mereka mengeluarkan air mata yang tak kunjung berhenti, ada rasa tidak percaya
yang tersirat dari wajah mereka. Melihat bagaimana berdoa bersama untuk
keselamatan keluarga mereka, menginginkan yang terbaik untuk keluarganya.
Saya tidak bisa
membayangkan bagaimana jika saya berada di posisi mereka. Apakah saya akan
tetap kuat? Saya rasa tidak. Namun, melihat bagaimana para keluarga penumpang
baik di Bandara Juanda ataupun yang berkicau melalui social media, membuat saya
tau akan satu hal: mereka percaya akan namanya pengharapan. Mereka percaya.
Mereka percaya seluruh penumang dapat ditemukan dengan selamat. Mereka percaya
itu. Begitu juga dengan saya. Mungkin mustahil untuk manusia, namun, kita punya
Tuhan kita tidak mengenal kata mustahil, bukan?
Pengharapan itu
mulai tumbuh di dasar hati saya. Saya terus-terusan memanjatkan doa agar
pesawat cepat ditemukan dengan seluruh penumpangnya.
26 jam
terlewati, namun pesawat belum terdengar kabarnya. Harapan mengenai keadaan
para penumpang yang semula menyala-nyala, perlahan mulai memudar.
Perlahan-lahan harapan itu sirna, memang tidak seutuhnya, tetapi sebagian
harapan itu hilang.
Adik saya yang
berusia sepuluh tahun, memiliki teman yang cukup akrab di dalam pesawat itu. Ia
berkata kepada mama saya, “aduh, ma, Niko gimana ya di laut. Udah malem gini. Pasti dingin.”
Kalimatnya
berhasil membuat mata saya berkaca-kaca. Dia juga merasakan kekhawatiran yang
sama dengan saya. Dia, yang merupakan bocah berusia sepuluh tahun, ikut
merasakan kehilangan. Dia mengerti. Kedua matanya yang berkaca-kaca menjelaskan
semuanya.
Sekali lagi, dia
mengerti.
Secercah harapan
itu kembali tumbuh ketika berita ditemukannya serpihan pesawat di Selat
Karimata. Ketika mendengar berita itu, saya langsung meloncat dari tempat
tidur, buru-buru menyalakan TV untuk mendengarkan berita terbaru.
Sesekali, kedua
mata saya berpindah ke handphone, memeriksa social media yang semakin ramai.
Kisah-kisah dibalik kehidupan para penumpang yang sempat membuat tubuh saya
lemas ketika membacanya, sempat berharap semua ini hanyalah mimpi buruk.
Ketika berita
mengenai ditemukannya tiga jenazah, saya melihat bagaimana keluarga penumpang
semakin menangis. Ingin rasanya memeluk mereka, mengatakan bahwa semua pasti
akan baik-baik saja, memang bukan sekarang, namun, suatu saat nanti, semua
pasti akan baik-baik saja. Ingin rasanya memberi kata-kata semangat untuk membangkitkan
semangat mereka. Ingin rasanya menjadi orang yang berada di samping mereka,
menguatkan mereka.
Namun, saya
hanya bisa berada di sini, membantu doa.
Pengharapan yang
sejak awal saya tanamkan di hati saya masih menyala. Masih ada sebagian dari diri
saya yang berharap para penumpang dapat ditemukan dengan kondisi baik-baik
saja. Harapan itu belum mati.
Satu yang saya
percaya, kalau Tuhan menghendaki dan mengijinkan semua ini terjadi, saya
percaya, DIA tidak lupa untuk memberikan jalan keluarnya. Untuk orang-orang
yang ditinggal, jangan putus asa. Jangan berlarut dalam kesedihan, karena
percayalah, semua akan baik-baik saja. Manusia tinggal dan pergi, kau harus
menerima itu.
Untung kamu,
yang ditinggalkan kedua orang tuamu, jangan putus asa. Kembalilah belajar
dengan giat, buktikkan kepada orangtuamu bahwa kamu bisa. Buat mereka bangga.
Biarkan kedua orang tuamu tersenyum diatas sana karena memiliki buah hati
sepertimu.
Untuk kamu, yang
ditinggalkan kekasihmu, jangan bersedih. Dia sedang tersenyum diatas sana,
karena sekarang, dia dapat menjagamu selama 24 jam. Percayalah, dia tidak
kemana-mana. Dia berada di sekelilingmu.
Untuk kamu, yang
ditinggalkan sahabatmu, tersenyumlah. Sahabatmu sedang tersenyum melihatmu
sekarang. Dia bangga mempunyaimu. Mungkin kau tidak bisa bertemu dengannya
kembali, namun, kau dan dia sudah menjadi satu. Ya, menjadi satu. Menjadi satu
atas nama persahabatan.
Mereka tidak
‘mati’. Mereka hanya terbang lebih tinggi. :)
“Mom,
why do the best people die early?”
“When
you’re in a garden, which flowers do you pick?”
“The
most beautiful ones.”