Thursday, January 22, 2015

Hati Terangbulan

Baru saja pulang dari dokter gigi. Saya memang harus rutin sebulan sekali ke dokter, mengingat saya sedang memakai kawat gigi. Sepulang dari sana, gigi saya mulai merasakan cenat cenut yang luar biasa. Kepala saya yang ikut dibawa imbasnya mendadak terasa begitu berat, ingin rasanya menutup mata sejenak, mengistirahatkan seluruh tubuh. Namun, saya tidak bisa melakukan itu. Ada beberapa tugas dan pekerjaan yang harus saya lakukan, membuat saya mau tidak mau, suka tidak suka, harus melawan rasa sakit yang menyerbu gigi dan kepala saya. 

Ketika saya memasuki ruang makan, kedua mata saya terkunci pada sebuah kotak makanan. Isi dari kotak tersebut sempat membuat saya menelan ludah, hati saya menimbang-nimbang untuk menyantapnya atau meninggalkan makanan itu di meja, tanpa disentuh. Terangbulan. Tidak susah untuk memutuskan. Saya memilih untuk menyantap terang bulan tersebut, persetan dengan diet, persetan dengan berat badan, yang saya pedulikan hanyalah kelezatan terangbulan coklat keju tersebut. 

Kedua gigi bagian depan saya baru saja mengigit ujung terang bulan, ketika pada saat yang bersamaan saya mengeluarkannya dari mulut. Gigi saya terasa begitu ngilu, untuk mengigit makanan empuk seperti terang bulan saja tidak bisa. 

Namun, rasa sakit itu tidak membuat saya mengembalikkan terang bulan lezat itu begitu saja. Saya memotong dengan garpu terang bulan tersebut ke dalam beberapa bagian, lalu menyantapnya dengan lahap. Saat mengunyah, rasa sakit itu tetap menyerbu, namun saya berusaha "membayar" rasa sakit itu dengan kenikmatan terang bulan. 

Kejadian ini seperti memberi sebuah jawaban kepada saya. Jawaban dari pertanyaan yang selalu saya tanyakan pada diri sendiri, hingga hari ini, saya berhasil menjawabnya sendiri. Saya pernah bertanya-tanya di dalam hati, "kenapa orang-orang di dunia ini tetap bertahan pada seseorang yang tidak pantas dipertahankan? kenapa orang-orang di dunia ini tetap memberi kesempatan kedua pada orang yang tidak pantas mendapatkan kesempatan itu?" 

Sama seperti terangbulan.

“Kenapa saya tetap menyantap terang bulan tersebut hingga habis, padahal, gigi saya ngilu setengah mati?”

Alasannya simple. Karena, terang bulan telah berhasil merebut hati saya. 

Saya sudah terlanjur jatuh cinta pada kenikmatan rasa terang bulan tersebut.

Sakit memang, tapi ini masalah hati. 

Tidak ada yang bisa mengaturnya.

Perasaan itu tumbuh dengan sendirinya, dan perlahan-lahan mengubahmu tanpa kau sadari.

Friday, January 9, 2015

Air Asia QZ 8501

Wow.

Kata itu yang menggambarkan perasaan saya. Bahkan, kalau ada kata yang lebih wow dari ‘wow’, sepertinya, saya membutuhkan kata itu sekarang.

Pagi itu, saya dikejutkan dengan berita tentang hilang kontaknya pesawat Air Asia QZ 8501 Surabaya - Singapura. Seharusnya kalau saya jadi berlibur ke Singapura, pesawat itulah yang saya dan keluarga akan tumpangi. Berita itu sempat membuat saya tercenung, bingung mau bereaksi seperti apa. Separuh dari diri saya menolak untuk menerima berita itu, namun separuhnya lagi memaksa saya untuk mempercayainya.

Seolah rasa terkejut yang saya rasakan belum cukup, saya kembali dikejutkan dengan berita bahwa di dalam pesawat tersebut ada kedua orang tua dan adik dari teman saya. Bulu kuduk saya seketika meremang, pikiran saya melayang kesana kemari. Rasa khawatir mulai menyerbu hati saya. Jari-jari saya otomatis mencari nama teman saya di kontak LINE, ingin mengirimkan sebuah pesan semangat kepadanya, namun tak satu katapun terketik di layar. Sistem otak saya seperti terhenti, tak mampu merangkai kata-kata bahkan untuk menulis satu huruf saja.

Hidup tanpa keluarga? Saya tidak pernah membayangkan itu. Bayangan seperti itu tidak pernah sekalipun menembus pikiran saya, sampai pada hari itu, saya sadar bahwa orang-orang di sekitar saya sekarang, tidak bisa selamanya mendampingi saya. Keluarg bisa pergi kapan saja.

Sebagai salah satu warga Surabaya, saya ikut merasakan kesedihan yang dirasakan keluarga para penumpang pesawat Airbus 320 tersebut. Entah mengapa, saya yang semula sama sekali tidak suka membaca berita, menjadi orang yang sering sekali me-refresh laman detik.com di HP saya. Saya seperti tidak ingin ketinggalan secuil informasi apapun itu.

Menonton berita juga merupakan kegiatan yang sangat saya hindari. Namun, sekali lagi, entah mengapa, saya mendapati diri saya duduk ruang tamu, menonton acara berita, dan menyimak segala informasi terbaru yang tidak ingin saya lewatkan. Tindakan yang sebenarnya susah untuk dipercaya, mengingat saya bukanlah type orang yang suka mendengarkan, menonton, atau membaca berita.

Tetapi, kembali lagi, ini bukan mengenai suka atau tidak suka. Ini mengenai rasa peduli terhadap sesama.

Melihat tayangan yang berada di televisi, saya sempat tak bisa menahan air mata. Bagaimana raut wajah keluarga penumpang memandangi daftar nama, berharap tidak menemukan nama orang yang ia kenali, namun kenyataan mengatakan sebaliknya. Melihat bagaimana mereka mengeluarkan air mata yang tak kunjung berhenti, ada rasa tidak percaya yang tersirat dari wajah mereka. Melihat bagaimana berdoa bersama untuk keselamatan keluarga mereka, menginginkan yang terbaik untuk keluarganya.

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jika saya berada di posisi mereka. Apakah saya akan tetap kuat? Saya rasa tidak. Namun, melihat bagaimana para keluarga penumpang baik di Bandara Juanda ataupun yang berkicau melalui social media, membuat saya tau akan satu hal: mereka percaya akan namanya pengharapan. Mereka percaya. Mereka percaya seluruh penumang dapat ditemukan dengan selamat. Mereka percaya itu. Begitu juga dengan saya. Mungkin mustahil untuk manusia, namun, kita punya Tuhan kita tidak mengenal kata mustahil, bukan?  

Pengharapan itu mulai tumbuh di dasar hati saya. Saya terus-terusan memanjatkan doa agar pesawat cepat ditemukan dengan seluruh penumpangnya.

26 jam terlewati, namun pesawat belum terdengar kabarnya. Harapan mengenai keadaan para penumpang yang semula menyala-nyala, perlahan mulai memudar. Perlahan-lahan harapan itu sirna, memang tidak seutuhnya, tetapi sebagian harapan itu hilang. 

Adik saya yang berusia sepuluh tahun, memiliki teman yang cukup akrab di dalam pesawat itu. Ia berkata kepada mama saya, “aduh, ma, Niko gimana ya di laut. Udah malem gini. Pasti dingin.”

Kalimatnya berhasil membuat mata saya berkaca-kaca. Dia juga merasakan kekhawatiran yang sama dengan saya. Dia, yang merupakan bocah berusia sepuluh tahun, ikut merasakan kehilangan. Dia mengerti. Kedua matanya yang berkaca-kaca menjelaskan semuanya.

Sekali lagi, dia mengerti.

Secercah harapan itu kembali tumbuh ketika berita ditemukannya serpihan pesawat di Selat Karimata. Ketika mendengar berita itu, saya langsung meloncat dari tempat tidur, buru-buru menyalakan TV untuk mendengarkan berita terbaru.

Sesekali, kedua mata saya berpindah ke handphone, memeriksa social media yang semakin ramai. Kisah-kisah dibalik kehidupan para penumpang yang sempat membuat tubuh saya lemas ketika membacanya, sempat berharap semua ini hanyalah mimpi buruk.

Ketika berita mengenai ditemukannya tiga jenazah, saya melihat bagaimana keluarga penumpang semakin menangis. Ingin rasanya memeluk mereka, mengatakan bahwa semua pasti akan baik-baik saja, memang bukan sekarang, namun, suatu saat nanti, semua pasti akan baik-baik saja. Ingin rasanya memberi kata-kata semangat untuk membangkitkan semangat mereka. Ingin rasanya menjadi orang yang berada di samping mereka, menguatkan mereka.

Namun, saya hanya bisa berada di sini, membantu doa.

Pengharapan yang sejak awal saya tanamkan di hati saya masih menyala. Masih ada sebagian dari diri saya yang berharap para penumpang dapat ditemukan dengan kondisi baik-baik saja. Harapan itu belum mati.

Satu yang saya percaya, kalau Tuhan menghendaki dan mengijinkan semua ini terjadi, saya percaya, DIA tidak lupa untuk memberikan jalan keluarnya. Untuk orang-orang yang ditinggal, jangan putus asa. Jangan berlarut dalam kesedihan, karena percayalah, semua akan baik-baik saja. Manusia tinggal dan pergi, kau harus menerima itu.

Untung kamu, yang ditinggalkan kedua orang tuamu, jangan putus asa. Kembalilah belajar dengan giat, buktikkan kepada orangtuamu bahwa kamu bisa. Buat mereka bangga. Biarkan kedua orang tuamu tersenyum diatas sana karena memiliki buah hati sepertimu.

Untuk kamu, yang ditinggalkan kekasihmu, jangan bersedih. Dia sedang tersenyum diatas sana, karena sekarang, dia dapat menjagamu selama 24 jam. Percayalah, dia tidak kemana-mana. Dia berada di sekelilingmu.

Untuk kamu, yang ditinggalkan sahabatmu, tersenyumlah. Sahabatmu sedang tersenyum melihatmu sekarang. Dia bangga mempunyaimu. Mungkin kau tidak bisa bertemu dengannya kembali, namun, kau dan dia sudah menjadi satu. Ya, menjadi satu. Menjadi satu atas nama persahabatan.

Mereka tidak ‘mati’. Mereka hanya terbang lebih tinggi. :) 

“Mom, why do the best people die early?”
“When you’re in a garden, which flowers do you pick?”
“The most beautiful ones.”

Wednesday, January 7, 2015

Cerpen "Baik vs Tulus"

Dibuat tanggal: 2 February 2015.
Karya: Felicia Sutanto

Ninditha’s POV

“Ma, jadi orang setia itu nggak enak ya?”

Pertanyaan itu berasal dari mulutku. Sebenarnya, aku tidak yakin apa alasan aku bertanya seperti itu. Yang kutau, pertanyaan itu terlontar begitu saja, seolah memang mewakili hati kecilku. Haha, hati. Aku bahkan tidak yakin apakah aku masih mempunyai hati. Apa lagi, setelah dikecewakan berulang kali oleh orang-orang yang….

Sudahlah.   

Mama menoleh ke arahku, lalu menaruh kertas-kertas yang entah apa isinya diatas meja. Dia melepas kacamata, membuatku dapat melihat lingkar hitam yang menggantung di bawah matanya dengan jelas. “Kenapa tiba-tiba tanya begitu?” tanyanya.

Aku menyandarkan punggung ke sandaran kursi, mendesah pelan. “Ya, tanya aja.”

Mama kembali berkutat dengan setumpuk kertas yang berada di mejanya. Aku kembali mendesah, mama memang selalu sibuk. “Waktu dulu kamu memilih untuk setia sama dia, apa alasannya?” tanyanya tiba-tiba, membuatku terdiam sejenak.

Aku menatap kedua mata mama, sebelum akhirnya menjawab, “kenapa ya? Ya, karena udah sayang, Ma.”

“Yakin sayang?” tanyanya sekali lagi. Dari nada bicaranya, mama seperti ingin memastikan sesuatu.

“Yakin lah, ma,” jawabku dengan mantap.

“Kalau kamu beneran sayang sama dia, berarti kamu tulus sayang sama dia. Dan kalau kamu tulus sayang sama dia, kamu nggak akan nanya pertanyaan seperti tadi.” Mama kembali mengenakan kacamatanya, lalu menuliskan sesuatu di atas kertas.

Aku menelan ludah. Kedua mataku masih terpaku pada meja kerja mama, kalimat mama barusan terputar kembali di  benakku, membuatku otakku secara otomatis mencerna setiap kata yang dilontarkan beliau.

“Bukannya nggak tulus.”

“Lalu?”

“Penasaran aja, ma,” kataku. “Kenapa ya, kebanyakan orang tulus malah ujung-ujungnya tersakiti? Apa jangan-jangan, orang tulus memang ditakdirkan untuk disakiti?”

Mama menghentikan segala aktivitasnya, lalu menatapku lurus-lurus. Dari tatapan matanya, aku dapat membaca tatapannya yang seolah-olah sedang mencari sebuah petunjuk dari wajahku. “Anak mama satu ini lagi galau, ya?”

Aku bergidik geli. Galau? Yang benar saja. Galau. Kata satu itu hanya berada di kamus-kamus orang yang mudah putus asa. Dan aku, bukan orang seperti itu. Satu kata itu tidak pernah dan tidak akan pernah ada di kamus kehidupanku.

“Nggak lah,” bantahku. “Ngapain galau, ma.”

Mama tertawa, membuatku kebingungan sendiri apa alasannya tertawa seperti itu. Jujur saja, aku merasa diremehkan. Aku tidak pernah suka diremehkan, asal kau tau. “Apaan sih ma, aku nggak galau.”

“Ninditha,” panggil mama. “Dengerin mama.”

Aku duduk lebih tegap.

“Ada banyak sekali hal di dunia ini yang nggak sejalan dengan harapan kita. Kadang kita minta kebahagiaan, eh tapi malah dikasih sebaliknya. Kadang kita minta teman, eh malah dikasih musuh. Ya, begitulah hidup. Kita tidak akan pernah bisa mengaturnya.”

Mama melipat kedua tangannya diatas meja. Ia memandang lurus ke depan, seperti memikirkan sesuatu, lalu tersenyum kecil. Sesaat kemudian, kedua matanya beralih ke arahku. “Sama kayak hati. Kita nggak bisa mengaturnya. Kita nggak bisa memaksa hati buat berhenti atau memulai mencintai seseorang. Kita juga nggak bisa mengatur hati untuk tulus dan setia sama orang. Hati. Dan Hidup. Itu berputar dengan sendirinya. Kita nggak pernah bisa mengaturnya, Nindi.”

Aku berusaha mencerna kata demi kata mama satu per satu, mencoba untuk mengerti kemana arah pembicaraan mama.

Mama menyibakkan poninya, sebelum akhirnya kembali berkata, “dan kalau kamu tanya, kenapa orang-orang tulus sering disakiti, jawabannya gampang aja.”

Aku mempertajam indra pendengaranku, tidak ingin melewatkan kalimat mama sehabis ini. “Apa, ma? Karena orang-orang tulus nggak pantas mendapatkan sesuatu yang indah?”

Mama menggelengkan kepalanya pelan. “Untuk jadi tulus, butuh pelajaran. Dan kalau orang tulus disakiti, itu artinya, dia sedang diberi pelajaran.”

Pelajaran.

Aku baru saja mau bertanya ketika mama lebih cepat memotongku. “Asal kamu tau, orang baik sama orang tulus itu berbeda. Orang baik belum tentu tulus. Kalau orang tulus, sudah pasti baik.”

Kedua alisku mengernyit. Beberapa saat kemudian aku mengiyakan kalimat mama, menyetujui kalimatnya barusan.

Mama tersenyum hangat. “Biarkan saja. Suatu saat ketika dia sudah menemukan penggantimu yang lebih ‘baik’, dia akan mengerti. Kalau yang tulus seperti kamu, tidak akan pernah bisa digantikan oleh orang yang hanya sekedar ‘baik’.”

Terjawab sudah. Aku memberinya seulas senyum lebar, “terima kasih, Ma.”

Mama kembali tersenyum, lalu kembali larut dalam pekerjaannya.

The end, Ninditha.