Monday, January 13, 2014

Pesan Di Balik Sebuah Sendok

FanFiction ini diambil dari novel Remember When karya Winna Efendi. 

-Erik's POV-

Bersahabatan dengan Freya sejak SD membuat aku terlalu mengenalnya. Aku tahu semua kelebihan dan kekurangannya. Aku juga tahu bakat tersembunyi yang diam-diam ia pendam. Aku tahu latar belakang keluarga dan masa lalunya. Aku tahu…… Entahlah. Yang jelas, aku tahu segalanya tentang Freya. Segalanya. Bahkan yang tidak diketahui oleh pacarnya, Moses.  

Seperti salah satunya: Freya suka mengoleksi sendok.

Aku tidak dapat melihat dari mana sisi menariknya sebuah benda kecil-dan-tak-berdaya-namun-berguna seperti sendok, tetapi, anehnya Freya bisa. Jika kau mau, ia dapat menjelaskan bagaimana perubahan sendok dari masa ke masa dengan begitu detail. Ia juga dapat menjelaskan proses pembuatan sendok dengan lancar.

Freya mempunyai berbagai macam bentuk, rupa dan jenis sendok. Mulai dari sendok untuk makan, sampai sendok untuk membuat adonan kue. Mulai dari sendok polos tanpa ukiran, sampai sendok dengan berbagai macam motif. Mulai dari sendok yang terbuat dari plastik, sampai sendok yang terbuat dari emas. Intinya, jika suatu saat dunia mengalami kebangkrutan sendok, Freya tentu bisa menjadi penyelamatnya.

Dan, disinilah kami berada. Di pulau Bali yang identik dengan indahnya suasana pantai. Tetapi, keindahan pantai sama sekali tidak membuat Freya tertarik. Sahabatku satu ini lebih memilih mengunjungi rumah makan demi rumah makan, hanya untuk mengincar apakah ada sendok yang belum masuk ke dalam kotak koleksinya.   

Aku pun terpaksa menuruti kemauannya. Oh ya, satu yang harus di catat, menjadi sahabat Freya berarti siap untuk dipermalukan. Aku sering kali menahan malu karena ditatap dengan seluruh penghuni rumah makan. Tatapan-tatapan itu seperti menyudutkan dan menyalahkanku karena telah membawa makhluk seaneh Freya–yang rela merengek-rengek pada penjaga kasir hanya demi mendapatkan sebuah sendok.

“Erik, liat deh... Sendoknya keren.” Freya mulai mengamati sendok yang baru saja diantarkan oleh pelayan. Sorotan matanya memancarkan ketertarikan yang luar biasa. “Kira-kira boleh—“

Aku buru-buru memotong, “Freya, ini di Bali. Jangan malu-maluin gue disini, dong.”

Freya cemberut. Ia menyodorkan sendok itu kepadaku, memintaku untuk mengamatinya terlebih dahulu. Aku mulai mengamati benda kecil-dan-tak-berdaya-namun-berguna itu dengan ogah ogahan. Beberapa detik kemudian, harus kuakui, sendok itu berhasil menyedot seluruh perhatianku sampai habis.

Sendok itu….. unik. Ujung gagang sendoknya terukir sebuah bunga matahari, dengan kelopak bunga yang terbuat dari intan. Tangkai bunganya terukir rapi di sepanjang gagang sendok, warna emas yang menyala pada tangkai bunga itu berpantulan dengan dinding mataku, menyebabkan kilauan silau yang otomatis membuat kedua mataku menutup dengan sendirinya.

Aku mulai membandingkan sendok itu dengan sendok yang berada di piringku. Sendok makanku berbentuk stainless steel tanpa ukiran, dan tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan sendok Freya. Perbandingannya itu seperti ketika kau melihat bunga anggrek, dan di sebelahnya terdapat kotoran ayam. Keindahannya berbeda jauh, bukan?

Kujelajahi seluruh penjuru ruangan, ingin tau apakah ada sendok seperti punya Freya. Dan beginilah hasil pengamatanku: semua pengunjung rumah makan ini menggunakan sendok yang sama denganku. Tidak ada yang menggunakan sendok seperti punya Freya.

Freya menyikut lenganku pelan, tersenyum menggoda. Sial, ia berhasil membaca raut wajahku yang terlihat terkesima dengan sendok itu. Ahh. Bodoh. Kenapa aku bisa tertarik dengan benda kecil-dan-tak-berdaya-namun-berguna ini?

“Jadi, gimana?” tanya Freya, wajahnya terlihat begitu semangat.

Aku melambaikan tangan tinggi-tinggi, mencoba mencari pelayan yang sedang tidak sibuk dengan pekerjaannya. Rumah makan ini sangat ramai, jadi aku tidak mau menganggu pekerjaan mereka hanya untuk membahas tentang sebuah sendok.

Salah satu pelayan berjalan menghampiri mejaku. Aku sebenarnya sedikit ragu, namun bibir Freya yang langsung terangkat dan membentuk seulas senyum lebar membuatku tidak tega untuk membatalkan niatku untuk membantunya.

Kedua mata pelayan itu langsung membelalak ketika melihat sendok yang berada di genggamanku. Aku agak khawatir, khawatir jika bola matanya akan copot saat itu juga dan terbang ke laut pantai Kuta. Tubuh pelayan itu tiba-tiba bergemetar sangat kuat, membuatku refleks merapatkan kursi lebih dekat pada Freya.

Beberapa pelayan ikut menghampiri mejaku dan Freya. Setelah mereka melihat sendok yang berada di genggamanku, raut wajah mereka pun tidak berbeda dengan pelayan pertama yang tadi kupanggil. Tangan mereka bergetar, ekspresi wajah mereka ketakutan, gerak gerik mereka seperti orang kesurupan.

Semakin banyak pelayan yang menghampiri mejaku dan Freya, semakin banyak juga jiwa-jiwa yang kesurupan. Tingkah laku mereka sangat aneh, dan aku mendapati diriku bertanya-tanya dalam hati apa yang sebenarnya sedang terjadi. Sungguh, tempat ini lebih cocok untuk disebut pusat penginapan roh jahat daripada rumah makan.

Freya memegang tanganku erat. Tangannya bergemetaran, seolah menunjukkan ia sedang ketakutan. Jantungku juga berdegup tiga-per-empat lebih cepat dari biasanya, menandakan bahwa aku juga takut. Namun, untuk menjaga sisi kejantananku, aku harus belagak menjadi pemberani.

Seorang wanita paruh baya menghampiri mejaku. Sepertinya, wanita itu adalah pemilik rumah makan. Aku dapat menyimpulkan begitu karena melihat bajunya yang lebih formal dan ekspresi wajahnya yang menyiratkan ketegasan.

Tidak beda dari ekspresi pelayan pelayan tadi, kedua mata pemilik rumah makan itu membelalak, namun sesaat kemudian ia berusaha untuk bersikap tenang. Ia memekik, “TARUH SENDOK ITU DI MEJA! SEKARANG!”

Karena sistem otakku yang sedang berada dalam keadaan terkejut sekaligus tersendat, aku bingung apa yang harus kulakukan. Sendok itu masih berada di tanganku sekitar lima detik lamanya, sampai sang pemilik rumah makan kembali memerintahkanku untuk menaruhnya di meja. Dengan gerakan cepat, kulemparkan sendok itu ke meja. Campuran antara perasaan janggal dan aneh mulai merasukiku.

“Sendok itu hanya ada dua di dunia ini. Sudah lama suami saya mencari sendok satunya yang hilang, dan kalian menemukannya. Terima kasih banyak!” pemilik rumah makan itu membungkuk, seolah sedang memberi hormat. “Kalian berdua percaya roh roh hitam ya?”

Aku dan Freya menggelengkan kepala kuat-kuat.

“Bagaimana bisa? Orang yang tidak percaya dengan roh hitam, tidak dapat melihat sendok ini. Pelayan pelayanku kesurupan karena mereka tidak percaya roh hitam.” Kata wanita paruh baya itu dengan nada santai, tidak sadar kalimatnya barusan berhasil membuatku dan Freya semakin ketakutan.

Freya yang tiba-tiba melonggarkan cengkramannya dari tanganku membuat aku menoleh. Pandangan matanya jatuh ke arah kemeja yang kukenakan. Kedua mataku otomatis bergerak mengikuti pandangan mata Freya, dan saat itu juga, aku lupa cara bernapas. Sendok dengan ukiran bunga matahari itu sedang berada di saku kemejaku! Benda kecil-dan-tak-berdaya-namun-berguna itu memancarkan cahaya yang begitu terang, membuatku harus memicingkan mata.

Aku buru-buru mengeluarkan sendok itu dari saku, dan karena saking takutnya, aku melempar sendok itu ke lantai.

“KENAPA KAU LEMPAR? Roh di sendok itu bisa mengejarmu,  anak muda!” wanita paruh baya itu mundur selangkah, seolah sedang bersiap-siap menghindari sesuatu.

“Rikkk..Rikk..” Freya mengguncang-guncangkan bahuku. “Liat ii..tu.”

Sendok itu bangkit dari ‘kematian’nya di lantai, lalu melayang-layang di udara. Perlahan, benda kecil-dan-tak-berdaya-namun-berguna itu mendekati wajahku, kemudian berpindah ke arah wajah Freya, dan memasuki saku celana Freya dengan gampangnya.

Sang pemilik rumah makan kembali berkata, “Jangan berlari! Ingat kata-kataku, JANGAN MENCOBA UNTUK BERLARI!”

Aku dan Freya mengabaikan peringatan pemilik rumah makan itu. Freya melempar sendok ke lantai, dan kami berdua berlari terbirit-birit tunggang langgang keluar dari rumah makan menyeramkan itu.

Setelah berlari cukup jauh dengan kecepatan yang tinggi, aku dan Freya akhirnya berhenti melangkahkan kaki. Napasku terengah-engah, aku berdiri dengan agak membungkuk untuk sedikit mengembalikan staminaku yang sudah tiga-per-empat hilang akibat berlari terlalu jauh. Freya tiba-tiba menjerit, lalu, ia melemparkan sebuah barang ke kepalaku.

Aku memegangi kepala sambil merintih kesakitan. Namun, sakit di kepalaku lenyap begitu saja ketika mengetahui apa yang baru saja dilempar oleh Freya. Sendok itu! Sendok yang tadi! Benda kecil-dan-tak-berdaya-namun-berguna itu melayang layang di udara sejenak, lalu perlahan masuk ke dalam saku kemejaku. Aku cepat-cepat melempar sendok itu ke Freya, dan Freya spontan melemparnya ke arahku. Aku melempar sendok itu lagi, dan Freya pun balas melempar. Kami berdua kembali berlari, menyusuri jalanan Bali tak kenal arah, sambil melempar sendok ajaib itu ke satu sama lain.

“ERIK! Buang sendok itu jauh-jauh!” pekik Freya.

Aku balas memekik, “Oke! Habis gue lempar ni sendok, kita lari secepet cepetnya!!”

Freya dan aku mengambil nafas panjang, kami berdua berhitung secara bersamaan dari satu sampai tiga. “TIGA!” Dengan energi yang tersisa di tubuhku, aku melempar sendok itu sejauh mungkin. Berharap sendok itu akan terbang dan menghilang di telan planet Neptunus. Freya berlari mendahuluiku, dan aku pun langsung ikut berlari sekencang-kencangnya.  

Matahari sedang bergeser menuju barat ketika aku dan Freya akhirnya menyerah. Kami memilih untuk berhenti berlari. Napasku maupun Freya sama-sama terengah engah, detak jantung kami sama-sama berdegup dengan tempo yang tak menentu. Kedua lutut kami melemas, menandakan sudah tidak kuat lagi menopang seluruh tubuh. Sendok ajaib itu masih berada di antara kami berdua, membuat aku tersadar akan sesuatu. Sejauh apapun aku berlari, benda kecil-dan-tak-berdaya-namun-berguna itu pasti akan tetap mengikutiku.

Aku dan Freya memandangi sekitar, hendak mencari tahu dimana keberadaan kami sekarang. Jujur saja, aku merasa aku sudah berlari sampai ke perbatasan Nepal – Tibet. Pikiranku mengatakan bahwa aku sudah berada tepat di depan gunung Everest. Namun, ternyata tidak. Bibirku spontan membentuk huruf O besar ketika mengetahui dimana aku dan Freya berada. Kami berdua berada tepat di depan...... rumah makan yang menjadi sumber sendok ajaib itu.

Astaga, sesempit itukah dunia ini?

Aku menoleh ke arah Freya dengan gaya penuh drama, melemparkan pandangan bertanya padanya. Ia memandangku balik sebelum akhirnya mengedikkan bahu.

Entah habis disambar petir atau diguyur seember air, Freya tiba-tiba memberanikan diri untuk meraih sendok yang tergeletak di tanah. Dengan sekali tarik, ia menarik lengan kemejaku dan membawaku masuk ke dalam rumah makan.

Ketika Freya mendorong pintu rumah makan, pandanganku langsung terarah pada wanita paruh baya, atau lebih tepatnya wanita pemilik rumah makan. Wanita itu masih memakai baju yang sama seperti tadi, menyadarkanku bahwa aku sedang tidak berada dalam alam mimpi. Raut wajahnya terlihat begitu gembira ketika melihat aku dan Freya muncul dari balik pintu.

“Aku sudah bilang, jangan berlari.” Pemilik rumah makan itu mengambil alih sendok dari tangan Freya. “Aku bisa menaklukkan sendok ini.” Ia  mulai mengelus-elus sendok ajaib itu dengan penuh kasih sayang, seakan-akan sendok itu adalah kucing persia yang bulu-bulunya lebat dan halus.

“Dia tidak akan mengikutiku lagi, kan?” tanya Freya.

Wanita itu tertawa, memperlihatkan barisan giginya yang tidak teratur. “Tidak. Dia sudah kujinakkan,” katanya lalu melanjutkan, “Oh ya, ini kuberikan padamu. Kalian berdua pantas mendapatkan sendok ini.”

Freya dan aku menggelengkan kepala mantap, menolak mentah-mentah pemberian pemilik rumah makan itu.

“Tidak usah takut.” Pemilik rumah makan itu menaruh sendok di tangan Freya. “Kau mengoleksi bermacam-macam sendok, bukan?”

“Bagaimana kau bisa tahu?” aku bertanya dengan nada penasaran, mewakili Freya yang sepertinya tak bisa berkata-kata. “Dan, sebenarnya ada makluk apa di dalam sendok itu?”

“Aku mempunyai kemampuan yang tak kalian tahu. Dan tentang sendok itu… sendok itu tidak berbahaya, percayalah.”  Wanita itu menepuk bahuku dan Freya, lalu berkata, “Untuk mendapatkan sesuatu, butuh kerja keras. Dan, kalian sudah melalui masa-masa kerja keras itu.”

Freya akhirnya menerima sendok itu dan memasukannya ke saku celana. Kami berdua mengucapkan terima kasih, lalu pergi meninggalkan rumah makan—sama sekali tidak berniat untuk bertanya lebih lanjut tentang asal usul sendok ajaib satu itu. Aku berjalan dengan langkah dipercepat, berjanji dalam hati tidak akan menginjakkan kaki di rumah makan itu lagi sampai kapanpun.
***

Aku dan Freya sedang berbaring di atas pasir pantai, membiarkan air laut sesekali menjilati kaki kami berdua. Freya mengangkat tinggi-tinggi benda kecil-dan-tak-berdaya-namun-berguna itu, memandanginya dengan pandangan takjub sekaligus senang.

“Gue harus ceritain ini ke Moses dan Gia,” katanya.

Aku terdiam, kedua mataku memandangi matahari yang perlahan menghilang seperti ditelan laut. Semilir angin sesekali meniupi wajahku dengan begitu lembut dan manja. Aku kembali mengingat kejadian hari ini, kejadian yang aneh namun membawa sebuah pelajaran tersendiri untukku.

Jika saja tadi aku mematuhi perintah pemilik rumah makan itu—untuk tidak berlari meninggalkan rumah makan, aku dan Freya tidak usah capek-capek berlari mengelilingi Bali. Hal itu membuatku mengerti sesuatu: ketika hidup membawamu ke posisi yang menyulitkan, apa yang harus kau lakukan adalah tetap berada di tempat dan melawannya.

Aku tersenyum, bangga dengan kesimpulan yang kubuat sendiri.  

-SELESAI-

Sunday, January 5, 2014

Cerpen "Gara Gara Koran!"

Dibuat tanggal: 6 December 2013. 
Karya: Felicia Sutanto


Putri's POV



“WOYY!! BUANG SAMPAH JANGAN SEMBARANGAN DONG!! GA LIAT YA ADA ORANG?!?! DASAR MENTANG MENTANG ORANG KAYA!!!” pekikku sekeras kerasnya, berharap dengan pekikan itu dapat menyadarkan sang pemilik mobil untuk bertanggung jawab atau setidaknya menanyakan apakah aku baik baik saja.

Tadi mobil CRV berwarna putih itu membuang botol air mineralnya dengan keadaan tutup yang terbuka. Alhasil, nyawa koran jualanku ludes dan basah. Begitukah orang kaya? Hanya karena pekerjaanku sebagai seorang loper koran, mereka bisa seenaknya merendahkan dan meremehkanku? Bukannya orang miskin sepertiku dan orang kaya seperti mereka juga sama sama makan nasi? Lalu, kenapa kebanyakan orang kaya selalu bersikap seenaknya seolah orang miskin harus dimusnahkan dari dunia ini?

Dari awal, aku memang membenci orang kaya. Semua itu berawal karena keputusan mama yang beberapa tahun lalu memilih untuk meninggalkan papa hanya untuk menikahi pria lain yang lebih mapan. Aku heran dengan jalan pikiran mama, atau bahkan jalan pikiran kebanyakan orang di dunia ini. Uang uang dan uang. Ada apa dengan benda itu? Memangnya dengan uang kau bisa bahagia? Ya, mungkin kau bisa membelikan apapun yang kau mau dengan uang, tapi kau tidak akan pernah bisa membeli kebahagiaan dengan sebuah uang.

“Lo baik baik aja?” suara berat itu menghentikan kesibukan tanganku yang sedang berusaha mengeringkan koran jualanku.
Aku menoleh ke arah suara, dan aku spontan mundur selangkah, tidak percaya dengan pemuda yang berada di hadapanku. Ganteng. Satu kata itu terprogram secara otomatis oleh sel sel otakku. Lalu, beberapa detik kemudian aku tersadar, pemuda tampan itu yang sudah membuat koranku basah! Ini tidak bisa dibiarkan.

“Kamu masih bisa tanya aku baik baik aja?! Kamu nggak liat koran koranku basah semua? Kamu nyetir pake mata nggak sih?” tanyaku ketus. Aku benar benar jengkel pada pemuda itu, walaupun sebenarnya aku juga sedang berusaha menutupi kekagumanku atas ketampanannya yang menurutku melebihi batas ketampanan.

Pemuda berseragam itu melonggarkan dasinya, lalu berkata dengan nada seolah tidak bersalah, “Maaf, tadi gue nggak tau ada lo disitu. Lagian elo ngapain sih? Elo itu cewek, nggak pantes jualan koran gini.”

Kedua mataku membesar. “Terus kenapa kalo aku loper koran? Kamu mau ngehina aku karena aku orang miskin? Iya?”

Dia mengernyit. “Lo negative thinking banget sih? Gini deh, gue beli semua koran lo, lo mau berapa? Berapapun gue kasih.”

Aku mendongak dan menatap kedua mata pemuda itu dengan tatapan sengit. Tingginya yang jauh lebih tinggi  dariku sama sekali tidak membuat nyaliku ciut untuk melawannya. “Nggak usah! Kamu kira semua yang ada di dunia ini bisa di beli sama uang?”

“Terus lo mau nya apa?” tanyanya. “Cepetan, gue ga punya waktu banyak.

“Nggak usah. Aku ga butuh apa apa dari kamu!” Kataku lalu langsung pergi meninggalkan pemuda itu dengan muka yang kutekuk berlipat lipat. Aku benar benar harus menyiapkan mental telingaku untuk mendengar omelan Bu Maya – atasanku itu – yang kerap kali membuat teligaku hampir mengeluarkan nanah akibat suaranya yang melengking.

Namaku Putri, dan ya, aku memang bekerja sebagai loper koran. Memangnya apa yang salah dengan itu? Bukannya itu salah satu pekerjaan yang halal? Lagi pula, aku menikmati pekerjaanku ini.

Seperti contohnya: Aku dapat merasakan sejuknya udara pagi walaupun lama lama udara sejuk itu berbaur menjadi satu dengan asap asap kendaraan. Aku dapat mengamati jalanan kota Jakarta yang kian hari makin padat sambil memperhatikan para pengemudi dengan raut wajah yang berbeda beda. Aku juga dapat mengenal teman teman yang seperjuangan denganku, yang turut merasakan apa yang aku rasakan, karena mereka juga menjual koran di pagi hari.

Jujur saja, aku belajar banyak dari pekerjaan ini, salah satunya adalah melatih tingkat kesabaranku. Aku sudah terbiasa dengan pengemudi pengemudi mobil yang memasang tampang cuek – seolah aku tidak ada, lenyap dan hanyut begitu saja bersama angin ketika aku muncul dari balik kaca mobil mereka dan menawarkan koranku. Aku juga sudah terbiasa dengan pembeli yang batal membeli koranku karena aku tidak punya uang kembalian – akibat uang yang mereka berikan terlalu besar, atau karena lampu lalu lintas sudah berganti menjadi hijau.

Awalnya, aku sering menggerutu dalam hati, mamaki pengemudi mobil yang bertindak seenaknya itu. Namun hari demi hari kulewati, aku pun mulai mengerti. Dan rasa pengertianku kini berubah menjadi suatu kebiasaan. Aku sudah terbiasa.

Hari hariku selalu berlalu dengan rutinitas yang sama. Pagi pagi buta aku harus bangun dan pergi ke pusat pencetakan koran, lalu aku harus menjualnya sampai habis dalam waktu satu jam. Kelelahanku menjual koran disambung dengan kegiatan belajarku di salah satu sekolah ternama di Jakarta. Aku mendapatkan beasiswa penuh untuk sekolah di sekolah tersebut.

“Putri!” Fani memanggilku dengan napas terengah-engah dari kejauhan. Sudut sudut bibirku terangkat membentuk seulas senyum, aku pun menghentikan langkah dan menunggu sahabatku satu itu menghampiri.

“Tumben datengnya pagian?” tanyanya. Napasnya masih belum stabil, rambutnya berantakan. Dia selalu seperti ini. Memanggilku dari kejauhan, lalu berlari dengan kecepatan tinggi untuk menghampiriku.

“Oh, hari ini aku nggak jualan koran, Fan. Udah deh, jangan di bahas.” Jawabku. Aku sedang malas sekali membahas masalah koran, sudah cukup tadi atasanku memarahiku dengan tatapan seperti ingin menelanku bulat bulat.

“Lo sekolah disini? Seriusan nih? Loper koran sekolah disini?” tiba tiba ada suara lain di belakangku. Aku tidak asing dengan suara itu. Fani yang langsung melotot sampai sampai hampir saja kehilangan keseimbangan melihat sesorang dibelakangku itu yang membuatku penasaran. Aku menoleh ke arah suara dan tidak ada kata yang lebih tepat untuk melukiskan perasaanku selain: kaget.

“Kamu sekolah disini?” tanyaku dengan nada heran. Pemuda itu adalah pemuda yang tadi membuat koranku basah. Aku memang tadi melihat pemuda itu berseragam, tetapi aku tidak memperhatikan badge yang ada di saku seragamnya. Ia satu sekolah denganku? Aku seperti sedang bermimpi….

Ia menangguk. “Oh ya, maaf ya tadi. Gue bener bener nggak sengaja.”

Moodku langsung jatuh sampai minus seribu. “Lupaiin aja!”

Aku menarik lengan Fani, dan mengajaknya masuk ke dalam kelas. Hari ini adalah hari pertamaku masuk sekolah setelah libur semester yang cukup panjang.

“Eh tunggu!” katanya agak berteriak. “Nama lo?”

Aku memutar kepalaku ke arahnya lalu menjawab, “Putri.”

Dia manggut manggut. “Oh, ok Putri. Nama gue, Levin.”

Aku memaksakan seulas senyum, lalu meninggalkan pemuda itu. Fani berbisik pelan di telingaku, “Levin itu penguasa sekolah kita. Dia satu tahun lebih tua dari kita. Kamu tau itu kan?”

Aku menggeleng pelan, benar benar tidak tahu. Lalu, Fani pun mulai menceritakan semua tentang pemuda itu, kelebihan kelebihan Levin, yang sebenarnya sama sekali tidak berarti apa apa buatku.
***

“Putri!” Levin mencegat lenganku, memintaku untuk berhenti dan berbicara dengannya.

“Apa?” tanyaku.

Tubuh pemuda itu bermandi keringat. Sepertinya ia baru selesai bermain basket. Namun begitu, ketampanannya sama sekali tidak luntur. Dia masih tampan seperti tadi pagi. “Gue mau nebus kesalahan gue nih. Gue anter lo pulang ya? Tapi sebelum itu gue traktir lo makan, gimana?”

“Nggak usah. Makasih.” Aku menolak, walau di dalam hati aku mengutuki diriku sendiri, bisa bisanya aku menolak ajakan makan siang bersama pemuda tampan seperti Levin? Sepertinya otakku sedang bermasalah.

“Please?”

Aku berpikir sesaat, lalu akhirnya mengangguk. Dia pun langsung melompat lompat kegirangan seperti anak kecil yang baru saja dibelikan mainan baru. Levin menggandeng tanganku, membuat jantungku berdebar jauh lebih cepat dari biasanya. Tidak ada yang pernah menggandengku seperti ini selain kedua orang tuaku. Itu pun terakhir kali waktu aku berusia sepuluh tahun. Dan jujur saja, aku tidak tahu bagaimana cara menanggapi telapak tangan yang sekarang sedang menggenggam tanganku erat erat.

Levin membawaku ke rumah makan makanan khas Indonesia. Aku sempat terkejut saat mengetahui pemuda itu membawaku ke restaurant seperti ini. Aku mengira ia akan membawaku ke rumah makan yang mahal dan sudah pasti makananya akan sangat asing di lidahku. Aku mulai merubah pandanganku tentang orang kaya satu itu. Ternyata, orang kaya juga bisa makan di tempat terpencil di pinggir jalan seperti ini.

Kami berbincang bincang tentang banyak hal. Apa yang kami bicarakan berlanjut begitu saja, tanpa sedikitpun kejanggalan. Ia bercerita tentang pekerjaan orang tuanya, hobbynya bermain basket, dan juga kebiasaannya yang menurutku cukup aneh: memakai kaos kaki dengan warna yang berbeda.

Begitu juga dengan aku, aku menceritakan semua tentang kehidupanku padanya. Awalnya aku berpikir Levin akan mengejekku, namun aku salah. “Gue salut sama lo, kapan kapan ajarin gue jualan koran ya.” Katanya.

“Ih! Resek!” kataku.

Setelah hari itu, kami berdua menjadi dekat. Di sekolah, kami sering menghabiskan waktu bersama. Seperti makan berdua di kantin (walaupun terkadang Fani ikut denganku), belajar bersama, dan ia juga rutin mengantarkku pulang setiap hari.


Beberapa bulan kemudian..

“Put, ke rumah gue yuk? Gue mau kenalin lo sama bokap nyokap gue.”

Ajakan Levin berhasil membuatku terkejut. Astaga, aku benar benar tidak siap. Bagaimana jika orang tua Levin tidak menyukaiku lalu melarang Levin berteman denganku? Ini mengerikan. Berkenalan dengan kedua orang tua Levin? Dengan orang tua cowok yang ku kagumi?

“Please?”

Aku tidak bisa menolak rayuan pemuda itu. Akhirnya aku mengangguk, dan dia pun langsung menghambur ke arahku, memelukku erat. Awalnya aku ragu menyambut pelukan itu, namun akhirnya aku mengangkat kedua tanganku perlahan, lalu membalas pelukan itu.
***

Hidup itu memang rumit. Tidak bisa ditebak. Apa yang di depan mata ku sekarang benar benar diluar dugaanku. Bagaimana bisa seperti ini? Kenapa hidup tidak pernah membiarkanku bahagia, walaupun sebentar saja? Kenapa tiba tiba kenyataan pait ini datang dan menghancurkan semuanya?

Aku jatuh cinta pada Levin. Kuakui itu. Namun….

“Mama?!” kataku setelah Levin memperkenalkan mamanya.

Mama langsung terkejut. “Putri? Ini kamu, nak? Kamu sudah besar sayang.” Mama mengelus kepalaku dan menarikku ke dalam pelukannya.

Aku menolak pelukan itu. “Kenapa mama disini?”

“Ini keluarga baru mama, Putri.”

Aku mulai merasakan lututku melemas. Apa itu artinya Levin juga anak mama? Dan apa itu berarti aku dan Levin sedarah? Aku mundur selangkah, lalu meninggalkan rumah Levin dengan air mata yang terus mengalir begitu saja.

Aku dan Levin. Kehidupan kami memang sangat bertolak belakang. Ia adalah anak orang kaya, sedangkan aku hanya anak dari seorang pemulung. Levin dapat membeli apapun yang ia mau dengan menggunakan uang ayahnya, sedangkan aku? Untuk sesuap nasi saja, aku harus banting tulang kesana kemari untuk mencari uang. Namun, dengan segala kekuranganku ini, Levin berhasil membangkitkan rasa percaya diriku. Dia bilang dia mencintaiku apa adanya.

Orang bilang masa remaja memang yang paling menyenangkan. Aku menyetujui itu. Namun apakah ini masih bisa dibilang sesuatu yang menyenangkan saat orang yang kau cintai selama ini adalah saudaramu sendiri?

Tiba tiba, langit memuntahkan air hujan. Aku tidak berniat untuk menepi, sebaliknya, aku membiarkan hujan itu membasahi sekujur tubuhku. Aku mulai menangis, berteriak sekeras kerasnya, menyalahkan takdir kenapa begitu kejam dan tidak adil. Entah berapa lama aku membiarkan tubuhku berbaur dengan air hujan, yang jelas di waktu aku mendongak ke langit dan berharap semua ini hanya mimpi, aku tetap masih berada dibawah titik titik air hujan yang semakin deras. Menyadarkanku bahwa aku sedang tidak bermimpi.
***

Sudah dua minggu semejak kejadian itu. Aku menolak mati matian untuk bertemu dengan Levin. Jujur saja, aku belum bisa terima dengan kenyataan yang ada. Aku masih berharap semua ini mimpi dan bukan kenyataan. Terkadang, aku menyalahkan mama dan membenci segala keputusan yang pernah ia buat. Namun, aku juga sadar, dia adalah ibuku. Dia yang mengandungku selama sembilan bulan dan memperkenalkan aku ke dunia.

Akhir akhir ini, aku mulai sering menangkap gadis gadis lain di sekolah mulai mendekati Levin, walaupun Levin selalu menolak mati matian dan mengusir para gadis itu. Diam diam, aku merasa sangat bersyukur dicintai oleh sosok pemuda seperti Levin. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari pada dicintai oleh sosok yang kau cintai juga, bukan?

“Put, aku mau ngomong sama kamu.”

Aku tetap berjalan, mengabaikan Levin yang dua minggu terakhir ini rutin menunggu di depan kelasku.

“Udah lah Vin, kita nggak bisa sama sama.” Bulir bulir air mata mulai membasahi pipiku. Aku cepat cepat menghapusnya, tidak mau sampai Levin tahu aku menangis.

“Kenapa? Karna kamu ngira kita saudaraan?”

Aku memutar badanku, menatap kedua mata Levin yang selama menjadi sesuatu yang selalu meneduhkanku. Susah rasanya menatap Levin sebagai seorang saudara, dan harus ku akui, aku menangkap jantungku kini berdegup begitu kencang. 

“Kenyataannya memang gitu kan? Vin, masih banyak kok cewek di luar sana. Kamu pasti dapet yang lebih  baik dari aku.”

Levin tergelak. “Putri, mama kamu itu mama tiri kau. Papa nikah lagi satu tahun setelah mama kandung aku meninggal. Kita nggak saudaraan, Put.”

Aku ternganga. Benarkah? Astaga, seharusnya aku tidak seenaknya mengambil kesimpulan. Entah dari mana, air mataku kembali mengalir. Kali ini, air mata itu berbeda. Dan aku tahu, air mata ini air mata bahagia.


Aku langsung menghambur ke arahnya, memeluknya sangat erat, dan dia pun membalas pelukanku. Kami berpelukan cukup lama, ditengah kerumunan murid sekolah yang sudah bersuit suit ria. 


Hidup akan membawamu ke titik yang paling rendah, dimana saat saat itu kau hanya ingin berlari dari kenyataan. Namun, hidup itu cukup adil untuk memberimu kesempatan berada di titik atas. :)



The end, Putri.